Dinamika Peran Polisi dalam Masyarakat
Pendahuluan
Cara kerja Polri berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut selain mengikuti perubahan pandangan masyarakat akan keberadaan polisi ditengah – tengah masyarakat sebagai aparat penegak hukum, Polri juga menyadari dampak dari perkembangan tersebut semakin menuntut polisi yang profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini, masyarakat memandang profesional yang berlaku dalam Polri bukan hanya sebatas melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum. Harapan masyarakat adalah profesionalisme yang mampu mewujudkan rasa diayomi, dilindungi, dan dilayani oleh polisi dalam keberadaan dan fungsi polisi ditengah – tengah masyarakat.
Guna menjawab tuntutan serta memenuhi harapan dari masyarakat, Polri dipandang perlu mengambil langkah yang tepat dalam pelaksanaan tugasnya, mengingat fungsi utama polisi adalah alat negara yang didirikan dan dibangun guna mencegah terjadinya kejahatan serta memerangi kejahatan juga dapat mengatasi permasalahan – permasalahan maupun konflik yang timbul pada masyarakat. Sesuai UU No. 2 / 2002, dalam hal pemeliharaan keamanan dalam negri, khususnya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, kini menjadi tugas Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Permasalahan
Berkaitan dengan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai yang tertera pada Pasal 13 UU No. 2 / 2002 untuk itu Polri diberikan kewewenang – kewenangan yang diatur dalam UU No. 2 / 2002 dalam Pasal 15 (1), yakni :
a. menerima laporan / atau pengaduan
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat ijin dan / atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan sementara waktu.
Sedangkan mengenai kewenangan kepolisian sesuai dengan peraturan perudang – undangan lainnya ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2), yakni:
a) memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat Lainnya;
b) menyelenggarakan registerasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c) memberikan izin mengemudi kendaraan bermotor
d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f) meberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;
g) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h) melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j)
k) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam kepolisian internasional;
l) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Sedangkan dibidang proses pidana, kewenangan kepolisian diatur dalam pasal 16 ayat (1), yakni :
• melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
• melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
• membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
• menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
• melakukan penyitaan dan pemeriksaaan surat;
• memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
• mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
• mengadkan penghentian penyidikan;
• menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
• mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
• memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
• mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Kewenangan – kewenangan tersebut diatas selain sangat membantu dan memang dibutuhkan oleh polisi dalam melaksanakan fungsi kepolisian, juga merupakan langkah antisipasi menghadapi eskalasi kejahatan yang senantiasa merayap naik menuntut polisi semakin analitis, responsif dan profesional. Walaupun demikian dengan melihat perkembangan situasi saat ini, dimana kondisi masyarakat semakin kritis terhadap kondisi hukum yang ada di Indonesia, bentuk upaya paksa terhadap seseorang maupun kelompok yang berkaitan dengan masalah maupun konflik, masih sering menghadapi kendala bahkan tidak sedikit justru menimbulkan masalah baru. Hal tersebut terbukti semakin lama, tingkat kriminalitas semakin bertambah dan makin bervariasi modus yang digunakan, bukannya menurun walau jumblah personil Polri bertambah banyak dan upaya yang sifatnya prefentif dan represif sering dilakukan.
Pembahasan
Dari kondisi permasalahan tersebut diatas diperoleh gambaran bahwa dalam hal ini polisi perlu memikirkan langkah yang lebih kongkrit selain upaya penegakkan hukum yang hanya mengetengahkan upaya paksa semata. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan beberapa pakar ilmu kepolisian terhadap tuntutan masyarakat akan peran Polri maupun bagaimana seharusnya Polri menyikapi situasi yang berkembang saat ini.
Menurut Rahardjo, (2000), sosok polisi yang ideal diseluruh dunia adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya. Dengan prinsip tersebut, masyarakat mengharapkan adanya perubahan dari polisi yang antagonis, (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya kedalam tugas – tugasnya) atau yang dapat dikatakan cocok dengan masyarakatnya. Harapan masyarakat kepada polisi adalah sosok polisi yang cocok atau sesuai dari masyarakatnya dan hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh polisi sendiri. Dapat dikatakan bahwa polisi adalah cerminan dari masyarakatnya, masyarakat yang bobrok jangan berharap mempunyai polisi yang baik (Rahardjo, 1999)
Dari fungsinya, polisi dalam pengertian yang mendasar dan umum, polisi hanyalah bagian dari administrasi pemerintahan, yang berfungsi untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan. Dengan kata lain : (1) Polisi menegakan hukum dan bersamaan dengan itu menegakan keadilan sesuai hukum yang berlaku, yaitu menegakan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh pemerintah), dan antar individu serta antar masyarakat; (2) Memerangi kejahatan yang menggangu dan merugikan masyarakat, warga msyarakat, dan negara; (3) Mengayomi warga masyarakat, masyarakat dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang menggangu dan merugikan. Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam perspektif bahwa individu, masyarakat, dan negara masing – masing merupakan sebuah sistem yang secara keseluruhan memproses masukan progaram – program pembangunan uuntuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Suparlan (1999).
Hasil berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan merupakan tujuan dari apa yang ada pada polisi saat melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun kondisi tersebut jelas tidak mungkin tercapai apabila hanya dilakukan upaya paksa pada individu maupun kelompok yang terlibat dalam permasalahan maupun konflik.
Konsep pemolisian pada dasarnya adalah gaya atau model yang melatar belakangi sebagian atau sejumlah aktivitas kepolisian dan lebih dari sekedar teknik atau taktik kepolisian, dilakukan takala menginterogasi tersangka, mengawal tamu penting, mengatur lalu lintas atau saat memberikan penyuluhan (Meliala, 1999).
Dalam uraiannya mengenai tuntutan profesionalisme dikalangan kepolisian, Prof. Harsja Bachtiar mengatakan bahwa polisi Indonesia harus mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi di Indonesia yang corak masyarakatnya amat kompleks sebagaimana dikatakannya (1994).
Mengacu pada permasalahan yang tengah dihadapi Polri tentang perlunya langkah yang lebih konkrit selain upaya paksa dalam penegakan hukum agar terciptanya keamanan dan ketertiban pada masyarakat dan mampu mewujudkan Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Ditambah adanya masukan pemikiran para pakar ilmu kepolisian seperti tersebut diatas, untuk itu dapat dianalisa bahwa Polri dalam memerankan fungsinya memerlukan seni dalam menghadapi serta mengatasi situasi konflik tanpa perlu melakukan pemaksaan sehingga mampu menimbulkan pemolisian yang baik dan profesional.
Seperti halnya yang diutarakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dalam seminar Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, bahwa dalam negara hukum yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, maka norma hukum yang harus berlaku adalah bahwa organisasi kepolisian akan tunduk pada hukum dan kekuasaan demokratis yang ada. Yang dimaksud dengan kekuasaan demokratis adalah kekuasaan yang dibatasi oleh pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat (kedaulatan rakyat). Meskipun kepolisian diberi wewenang mempergunakan kekerasan atas nama negara, namun janganlah diartikan bahwa kegiatan pemolisian (policing) adalah identik dengan penggunaan kekerasan. Kalau kita mau menerima pengertian bahwa kegiatan pemolisian adalah aspek atau tahap dalam proses pengendalian sosial, maka penggunaan kekerasan adalah ultima ratio (alat yang paling jarang dipergunakan dan terakhir). Dalam melakukan tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta menegakkan hukum (pasal 13 UU Kepolisian 2002), petugas kepolisian sebaiknya memperhatikan pendapat bahwa “ Pemolisian yang baik adalah suatu seni, bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa perlu pemaksaan.”
Seni yang dimaksud merupakan cara yang mampu mengantisipasi meningkatnya kriminalitas baik dengan upaya pencegahan maupun penindakan tanpa harus mengutamakan pemaksaan yang dikedepankan kecuali memang hanya penegakkan hukumlah yang memang pantas untuk diterapkan pada seseorang atau sekelompok masyarakat yang bermasalah. Contoh dari maksud tersebut ialah apabila adanya masyarakat atau sekelompok masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, seyogyanya sebagai polisi selain harus benar – benar mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya, agar dapat menentukan langkah yang tepat dalam pemberian sangsi pada masyarakat tersebut. Sangsi yang diberikanpun tidak harus berupa penerapan pidana atau hukum positif. Namun dalam hal ini sangsi yang diberikan adalah sangsi yang mampu memberikan pengertian dan pemahaman bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dalam negara Indonesia.
Diharapkan pemberian sangsi secara persuasif tersebut selain mampu menyadarkan orang tersebut atau masyarakat yang melakukan kesalahan, diharapkan mereka juga bisa ikut memberikan pengertian dan pemahaman yang sama pada masyarakat lainnya. Kecuali hal tersebut tidak mempan atau terhadap kasus – kasus tertentu yang tidak dapat dilakukan sangsi secara persuasif, seperti pada kasus pembunuhan atau residifis jelas hukum positiflah yang pantas untuk diterapkan pada pelaku tersebut.
Sebab dari langkah tersebut untuk dilakukan adalah menimbang bila segala sesuatu kesalahan maupun konflik yang ditemui harus selalu diterapkannya hukum positif dalam penanganannya, hal itu belum tentu efektif guna menyadarkan seseorang maupun sekelompok masyarakat akan apa yang mereka perbuat. Karena tidak sedikit kesalahan yang terjadi memang mereka tak menyadari sepenuhnya bila hal tersebut dilakukan merupakan pelanggaran akan hukum yang ada. Begitu mereka menjalani sangsi hukum yang dikenakan pada mereka justru menimbulkan dendam dan niat melawan hukum. Situasi ini jelas bukanya menurunkan angka kriminalitas maupun menimbulkan keamanan dan ketertiban ditengah – tengah masyrakat justru akan menjadi pemicu munculnya kejahatan – kejahatan lainnya dengan modus – modus baru yang secara tidak langsung membuat pekerjaan baru bagi Polri dalam menghadapi serta mengatasi situasi tersebut.
Jelas sekali terlihat apabila segala seuatu kesalahan yang ditemui atau dilaporkan langsung diterapkanya hukum positif, kondisi polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat yang diharapkan tidak akan pernah terwujud dengan sempurna, seperti apa yang menjadi harapan seluruh masyarakat maupun Polri sendiri.
Kesimpulan
Penanganan masalah keamanan dan ketertiban dimasyarakat tidak bisa disamaratakan antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masing – masing daerah mempunyai situasi, kondisi dan karakteristik yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban tidak bisa diseragamkan antara satu daera dengan daerah lain. Dengan demikian diperlukan seni atau gaya dalam melaksanakan fungsi kepolisian yang mampu atau dapat diterapkan dengan tepat.
Dari seni yang diperlukan sebagai model yang melatarbelakangi tindakan atau aktifitas kepolisian dalam mengatasi berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban dan pencegahan terjadinya tindak kejahatan diperlukan juga pemahaman tentang masyarakat dengan berbagai masalah dan sistem sosial yang ada didalamnya serta aspek intern kepolisian sendiri yang mencakup sistem manajemen, kebijaksanaan – kebijaksanaan yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman oleh para petugas kepolisian dalam melaksanakan tindakan operasionalnya.
Saran
Agar dapat terlaksananya upaya penindakan yang sifatnya persuasif, diperlukan adanya pendidikan formal yang mencukupi untuk seorang anggota Polri dengan menekan kan keimanan dan ketakwaan dalam menjalani tugas yang diemban olehnya.
Dalam hal ini selain upaya penindakan secara persuasif, dinegara – negara yang demokratis sekarang ini lebih mengedepankan penerapan community policing (pemolisian komuniti) sebagai alternatif gaya pemolisian yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat. Dalam hal tersebut polisi sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang bersama – sama dengan masyarakat dilingkunganya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban dilingkungannya.
Namun rasanya akan lebih baik bila seni atau gaya pemolisian tersebut digabung menjadi satu langkah yaitu community policing yang didalamnya mengandung penerapan atau penindakan secara persuasif.
Penutup
Peranan polisi dalam turut menegakan hukum dan melindungi masyarakat dan berbagai gangguan rasa tidak aman dan kejahatan adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Baik melindungi warga masyarakat maupun melindungi berbagai lembaga dan pranata sosial, kebudayaan ekonomi yang produktif. Peranan ini hanya mungkin dapat dilaksanakan bila fungsi polisi tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara profesional. Dalam jaman reformasi yang kita jalani sekarang ini, yang penuh dengan berbagai gejolak masyarakat , peran polisi menjadi sangat penting dalam turut menciptakan rasa aman dalam kehidupan masyarakat dan dalam meredam berbagai gejolak tersebut. Dengan demikian apa yang menjadi bahasan dalam permasalahan bagaimana wujud pemolisian yang baik diharapkan dapat memberikan input yang berarti bagi Polri dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Reksodiputro, Mardjono. Prof., SH., MA, 2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembanganya Di Indonesia, Seminar Ilmu Kepolisian dan Prefesionalisme Polri.
Tunggul Alam, Wawan. SH. 2004, Memahami Profesi Hukum, Milenia Populer, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. Prof., PhD, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta.
Kunarto, Drs., 1995, Merenungi Kritik Terhadap Polri, PT. Cipta Manunggal, Jakarta.
Djamin, Awaludin. Prof., DR., MPA. 2001, Agenda Reformasi Polri Pasca Sidang Istimewa MPR 2001, PTIK Press, Jakarta.