MASYARAKAT SADAR DAN BERBUDAYA HUKUM


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday 4 May 2016

HUKUM KEPOLISIAN



Dinamika Peran Polisi dalam Masyarakat
Pendahuluan
Cara kerja Polri berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut selain mengikuti perubahan pandangan masyarakat akan keberadaan polisi ditengah – tengah masyarakat sebagai aparat penegak hukum, Polri juga menyadari dampak dari perkembangan tersebut semakin menuntut polisi yang profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini, masyarakat memandang profesional yang berlaku dalam Polri bukan hanya sebatas melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum. Harapan masyarakat adalah profesionalisme yang mampu mewujudkan rasa diayomi, dilindungi, dan dilayani oleh polisi dalam keberadaan dan fungsi polisi ditengah – tengah masyarakat.
Guna menjawab tuntutan serta memenuhi harapan dari masyarakat, Polri dipandang perlu mengambil langkah yang tepat dalam pelaksanaan tugasnya, mengingat fungsi utama polisi adalah alat negara yang didirikan dan dibangun guna mencegah terjadinya kejahatan serta memerangi kejahatan juga dapat mengatasi permasalahan – permasalahan maupun konflik yang timbul pada masyarakat. Sesuai UU No. 2 / 2002, dalam hal pemeliharaan keamanan dalam negri, khususnya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, kini menjadi tugas Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Permasalahan
Berkaitan dengan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai yang tertera pada Pasal 13 UU No. 2 / 2002 untuk itu Polri diberikan kewewenang – kewenangan yang diatur dalam UU No. 2 / 2002 dalam Pasal 15 (1), yakni :

a. menerima laporan / atau pengaduan
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat ijin dan / atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan sementara waktu.

Sedangkan mengenai kewenangan kepolisian sesuai dengan peraturan perudang – undangan lainnya ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2), yakni:
a) memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat Lainnya;
b) menyelenggarakan registerasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c) memberikan izin mengemudi kendaraan bermotor
d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f) meberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;
g) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h) melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j)
k) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam kepolisian internasional;
l) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Sedangkan dibidang proses pidana, kewenangan kepolisian diatur dalam pasal 16 ayat (1), yakni :
• melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
• melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
• membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
• menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
• melakukan penyitaan dan pemeriksaaan surat;
• memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
• mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
• mengadkan penghentian penyidikan;
• menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
• mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
• memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
• mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kewenangan – kewenangan tersebut diatas selain sangat membantu dan memang dibutuhkan oleh polisi dalam melaksanakan fungsi kepolisian, juga merupakan langkah antisipasi menghadapi eskalasi kejahatan yang senantiasa merayap naik menuntut polisi semakin analitis, responsif dan profesional. Walaupun demikian dengan melihat perkembangan situasi saat ini, dimana kondisi masyarakat semakin kritis terhadap kondisi hukum yang ada di Indonesia, bentuk upaya paksa terhadap seseorang maupun kelompok yang berkaitan dengan masalah maupun konflik, masih sering menghadapi kendala bahkan tidak sedikit justru menimbulkan masalah baru. Hal tersebut terbukti semakin lama, tingkat kriminalitas semakin bertambah dan makin bervariasi modus yang digunakan, bukannya menurun walau jumblah personil Polri bertambah banyak dan upaya yang sifatnya prefentif dan represif sering dilakukan.
Pembahasan
Dari kondisi permasalahan tersebut diatas diperoleh gambaran bahwa dalam hal ini polisi perlu memikirkan langkah yang lebih kongkrit selain upaya penegakkan hukum yang hanya mengetengahkan upaya paksa semata. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan beberapa pakar ilmu kepolisian terhadap tuntutan masyarakat akan peran Polri maupun bagaimana seharusnya Polri menyikapi situasi yang berkembang saat ini.
Menurut Rahardjo, (2000), sosok polisi yang ideal diseluruh dunia adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya. Dengan prinsip tersebut, masyarakat mengharapkan adanya perubahan dari polisi yang antagonis, (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya kedalam tugas – tugasnya) atau yang dapat dikatakan cocok dengan masyarakatnya. Harapan masyarakat kepada polisi adalah sosok polisi yang cocok atau sesuai dari masyarakatnya dan hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh polisi sendiri. Dapat dikatakan bahwa polisi adalah cerminan dari masyarakatnya, masyarakat yang bobrok jangan berharap mempunyai polisi yang baik (Rahardjo, 1999)
Dari fungsinya, polisi dalam pengertian yang mendasar dan umum, polisi hanyalah bagian dari administrasi pemerintahan, yang berfungsi untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan. Dengan kata lain : (1) Polisi menegakan hukum dan bersamaan dengan itu menegakan keadilan sesuai hukum yang berlaku, yaitu menegakan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh pemerintah), dan antar individu serta antar masyarakat; (2) Memerangi kejahatan yang menggangu dan merugikan masyarakat, warga msyarakat, dan negara; (3) Mengayomi warga masyarakat, masyarakat dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang menggangu dan merugikan. Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam perspektif bahwa individu, masyarakat, dan negara masing – masing merupakan sebuah sistem yang secara keseluruhan memproses masukan progaram – program pembangunan uuntuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Suparlan (1999).
Hasil berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan merupakan tujuan dari apa yang ada pada polisi saat melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun kondisi tersebut jelas tidak mungkin tercapai apabila hanya dilakukan upaya paksa pada individu maupun kelompok yang terlibat dalam permasalahan maupun konflik.
Konsep pemolisian pada dasarnya adalah gaya atau model yang melatar belakangi sebagian atau sejumlah aktivitas kepolisian dan lebih dari sekedar teknik atau taktik kepolisian, dilakukan takala menginterogasi tersangka, mengawal tamu penting, mengatur lalu lintas atau saat memberikan penyuluhan (Meliala, 1999).
Dalam uraiannya mengenai tuntutan profesionalisme dikalangan kepolisian, Prof. Harsja Bachtiar mengatakan bahwa polisi Indonesia harus mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi di Indonesia yang corak masyarakatnya amat kompleks sebagaimana dikatakannya (1994).
Mengacu pada permasalahan yang tengah dihadapi Polri tentang perlunya langkah yang lebih konkrit selain upaya paksa dalam penegakan hukum agar terciptanya keamanan dan ketertiban pada masyarakat dan mampu mewujudkan Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Ditambah adanya masukan pemikiran para pakar ilmu kepolisian seperti tersebut diatas, untuk itu dapat dianalisa bahwa Polri dalam memerankan fungsinya memerlukan seni dalam menghadapi serta mengatasi situasi konflik tanpa perlu melakukan pemaksaan sehingga mampu menimbulkan pemolisian yang baik dan profesional.
Seperti halnya yang diutarakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dalam seminar Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, bahwa dalam negara hukum yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, maka norma hukum yang harus berlaku adalah bahwa organisasi kepolisian akan tunduk pada hukum dan kekuasaan demokratis yang ada. Yang dimaksud dengan kekuasaan demokratis adalah kekuasaan yang dibatasi oleh pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat (kedaulatan rakyat). Meskipun kepolisian diberi wewenang mempergunakan kekerasan atas nama negara, namun janganlah diartikan bahwa kegiatan pemolisian (policing) adalah identik dengan penggunaan kekerasan. Kalau kita mau menerima pengertian bahwa kegiatan pemolisian adalah aspek atau tahap dalam proses pengendalian sosial, maka penggunaan kekerasan adalah ultima ratio (alat yang paling jarang dipergunakan dan terakhir). Dalam melakukan tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta menegakkan hukum (pasal 13 UU Kepolisian 2002), petugas kepolisian sebaiknya memperhatikan pendapat bahwa “ Pemolisian yang baik adalah suatu seni, bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa perlu pemaksaan.”
Seni yang dimaksud merupakan cara yang mampu mengantisipasi meningkatnya kriminalitas baik dengan upaya pencegahan maupun penindakan tanpa harus mengutamakan pemaksaan yang dikedepankan kecuali memang hanya penegakkan hukumlah yang memang pantas untuk diterapkan pada seseorang atau sekelompok masyarakat yang bermasalah. Contoh dari maksud tersebut ialah apabila adanya masyarakat atau sekelompok masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, seyogyanya sebagai polisi selain harus benar – benar mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya, agar dapat menentukan langkah yang tepat dalam pemberian sangsi pada masyarakat tersebut. Sangsi yang diberikanpun tidak harus berupa penerapan pidana atau hukum positif. Namun dalam hal ini sangsi yang diberikan adalah sangsi yang mampu memberikan pengertian dan pemahaman bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dalam negara Indonesia.
Diharapkan pemberian sangsi secara persuasif tersebut selain mampu menyadarkan orang tersebut atau masyarakat yang melakukan kesalahan, diharapkan mereka juga bisa ikut memberikan pengertian dan pemahaman yang sama pada masyarakat lainnya. Kecuali hal tersebut tidak mempan atau terhadap kasus – kasus tertentu yang tidak dapat dilakukan sangsi secara persuasif, seperti pada kasus pembunuhan atau residifis jelas hukum positiflah yang pantas untuk diterapkan pada pelaku tersebut.
Sebab dari langkah tersebut untuk dilakukan adalah menimbang bila segala sesuatu kesalahan maupun konflik yang ditemui harus selalu diterapkannya hukum positif dalam penanganannya, hal itu belum tentu efektif guna menyadarkan seseorang maupun sekelompok masyarakat akan apa yang mereka perbuat. Karena tidak sedikit kesalahan yang terjadi memang mereka tak menyadari sepenuhnya bila hal tersebut dilakukan merupakan pelanggaran akan hukum yang ada. Begitu mereka menjalani sangsi hukum yang dikenakan pada mereka justru menimbulkan dendam dan niat melawan hukum. Situasi ini jelas bukanya menurunkan angka kriminalitas maupun menimbulkan keamanan dan ketertiban ditengah – tengah masyrakat justru akan menjadi pemicu munculnya kejahatan – kejahatan lainnya dengan modus – modus baru yang secara tidak langsung membuat pekerjaan baru bagi Polri dalam menghadapi serta mengatasi situasi tersebut.
Jelas sekali terlihat apabila segala seuatu kesalahan yang ditemui atau dilaporkan langsung diterapkanya hukum positif, kondisi polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat yang diharapkan tidak akan pernah terwujud dengan sempurna, seperti apa yang menjadi harapan seluruh masyarakat maupun Polri sendiri.
Kesimpulan
Penanganan masalah keamanan dan ketertiban dimasyarakat tidak bisa disamaratakan antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masing – masing daerah mempunyai situasi, kondisi dan karakteristik yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban tidak bisa diseragamkan antara satu daera dengan daerah lain. Dengan demikian diperlukan seni atau gaya dalam melaksanakan fungsi kepolisian yang mampu atau dapat diterapkan dengan tepat.
Dari seni yang diperlukan sebagai model yang melatarbelakangi tindakan atau aktifitas kepolisian dalam mengatasi berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban dan pencegahan terjadinya tindak kejahatan diperlukan juga pemahaman tentang masyarakat dengan berbagai masalah dan sistem sosial yang ada didalamnya serta aspek intern kepolisian sendiri yang mencakup sistem manajemen, kebijaksanaan – kebijaksanaan yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman oleh para petugas kepolisian dalam melaksanakan tindakan operasionalnya.
Saran
Agar dapat terlaksananya upaya penindakan yang sifatnya persuasif, diperlukan adanya pendidikan formal yang mencukupi untuk seorang anggota Polri dengan menekan kan keimanan dan ketakwaan dalam menjalani tugas yang diemban olehnya.
Dalam hal ini selain upaya penindakan secara persuasif, dinegara – negara yang demokratis sekarang ini lebih mengedepankan penerapan community policing (pemolisian komuniti) sebagai alternatif gaya pemolisian yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat. Dalam hal tersebut polisi sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang bersama – sama dengan masyarakat dilingkunganya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban dilingkungannya.
Namun rasanya akan lebih baik bila seni atau gaya pemolisian tersebut digabung menjadi satu langkah yaitu community policing yang didalamnya mengandung penerapan atau penindakan secara persuasif.





Penutup
Peranan polisi dalam turut menegakan hukum dan melindungi masyarakat dan berbagai gangguan rasa tidak aman dan kejahatan adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Baik melindungi warga masyarakat maupun melindungi berbagai lembaga dan pranata sosial, kebudayaan ekonomi yang produktif. Peranan ini hanya mungkin dapat dilaksanakan bila fungsi polisi tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara profesional. Dalam jaman reformasi yang kita jalani sekarang ini, yang penuh dengan berbagai gejolak masyarakat , peran polisi menjadi sangat penting dalam turut menciptakan rasa aman dalam kehidupan masyarakat dan dalam meredam berbagai gejolak tersebut. Dengan demikian apa yang menjadi bahasan dalam permasalahan bagaimana wujud pemolisian yang baik diharapkan dapat memberikan input yang berarti bagi Polri dan masyarakat.


Daftar Pustaka
Reksodiputro, Mardjono. Prof., SH., MA, 2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembanganya Di Indonesia, Seminar Ilmu Kepolisian dan Prefesionalisme Polri.
Tunggul Alam, Wawan. SH. 2004, Memahami Profesi Hukum, Milenia Populer, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. Prof., PhD, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta.
Kunarto, Drs., 1995, Merenungi Kritik Terhadap Polri, PT. Cipta Manunggal, Jakarta.
Djamin, Awaludin. Prof., DR., MPA. 2001, Agenda Reformasi Polri Pasca Sidang Istimewa MPR 2001, PTIK Press, Jakarta.

HUKUM ASURANSI


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pada saat sekarang ini setiap orang tidak dapat terhindar dari apa yang disebut risiko, baik itu menyangkut harta kekayaan maupun risiko kehilangan jiwa.
Untuk itu asuransi jiwa sangat diperlukan,asuransi jiwa yang dipertanggungkan adalah yang disebabkan oleh kematian.Kematian tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan sesorang atas suatu keluaga tertentu.
Risiko yang mungkin timbul pada asuransi jiwa terutama terlatak pada unsur waktu, oleh karena sulit untuk mengetahui kapan seseorang meninggal dunia. Untuk memperkecil risiko tersebut, maka sebaiknya diadakan pertanggungan jiwa.

B.PERUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari asuransi jiwa?
2. Jelaskan syarat-syarat risiko asuransi jiwa?

C. TUJUAN
1.Untuk mengetahui tentang masalah asuransi jiwa .
2. Untuk melengkapi tugas makalah hukum asuransi,
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian financial tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama.
Dalam asuransi jiwa risiko yang dihadapi adalah
1 Risiko kematian,
2. Hidup seseorang terlalu lama.
Fungsi asuransi jiwa :
1. Tujuan pertanggungan jiwa adalah mengadakan jaminan bagi masyarakat, yaitu mengambil alih semua beban risiko dari tiap-tiap individu. Bilamana ditanggung sendiri akan terlalu berat, maka lebuh baik dipindahkan kepada perusahaan asuransi jiwa.
2. Perusahaan asuransi mempunyai tugas lain bila dilihat dari sudut pembangunan (economic development), yaitu sebagai lembaga yang mengumpulkan dana dan dana tersebut dapat diinvestasikan dalam lapangan pembangunan ekonomi seperti: industri-industri, perkebunan, dan lain-lain.
3. Dari sudut employment (pekerjaan), perusahaan asuransi memberi bantun kepada public,yaitu memberi kesempatan bekerja pada buruh-buruh atau pegawai-pegawai untuk memperoleh income guna kelangsungan hidup mereka sehari-hari.

Tujuan asuransi:
1. Dari segi masyarakat umumnya (social)
Asuransi jiwa bisa memberikan keuntunga-keuntungan tertentu terhadap individu atau masyarakat yaitu:
a. Menentramkan kepala keluarga (suami atau bapak) dalam arti memberi jaminan penghasilan, pendidikan, apabila kepala keluarga tersebut meninggal dunia.
b. Dengan membeli polis asuransi jiwa dapat digunakan sebagai alat untuk menabung (saving).
c. Sebagai sumber penghasilan (earning power).
d. Tujuan lain asuransi jiwa ialah untuk menjamin pengobatan dan menjamin kepada keturunan andaikata yang mengasuransikan tidak mammpu untuk mendidik anak-anaknya.
2. Dari segi pemerintah atau publik
Perusahaan asuransi jiwa di Negara kita yang besar operasinya
umumnya kepunyaan pemerintah.Disini kita hubungkan dengan peraturan pemerintah no. 19 tahun 1960 mengenai pembagian kegiatan antara perusahaan-perusahaan Negara.
Berdasarkan undang-undang no. 19 tahun1960 ternyata bahwa sumbangan lembaga asuransi terhadap pembangunan ekonomi ialah:
1. Sebagai alat pembentukan modal (capital formation).
2. Lembaga penabungan (saving).

Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan perusahaan asuransi ialah untuk turut membangun ekonomi nasional di bidang peransuaransian jiwa sesuai dengan Repelita dengan mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketentramam serta kesenagan bekerja dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur, materil dan spiritual.

Sifta-sifat kontrak asuransi jiwa:
1. Al policies are valued policies
Pada asuransi jiwa jumlah nilai polis sudah ditentukan jumlah maksimum dari pertangungan. Kontrak asuransi tidak Indemnity, artinya kita bisa memperoleh keuntungan dari pertanggungan tersebut.
2. Kadang-kadang jangka waktu asuransi digunakan untuk seumur
hidup, pembayara premi sama besarnya walaupun risiko bertambah lama bertambah besar.
3. Dengan membayar premi secara level premium (merata), kerugia-kerugian pada waktu membayar dikompensir untuk masa yang akan datang.
4. Asuransi jiwa mengandung unsur investasi.
5. Pembuktian claim mudah karena:
a. Kontrak bisa dibuktikan benar-benar berlaku.
b. Tertanggung benar-benar meninggal dunia.
c. Apakah ahli waris benar-benar ia berhak menerimmanya.
6. Kontrak adalah “uncontestable contract” artinya bila seorang
berbohong dan ini tidak diketahui oleh perusahaan maka perjanjian tidak bisa dibatalkan.
7. Perusahaan asuransi akan membayar sejumlah uang tertentu pada.
ahli warisnya.

Cara Pembayaran Premi
Premi yang dibayar oleh pembeli asuransi tergantung kepada sifat kontrak yang telah dibuat antara perusahaan asuransi dengan tertanggung.
Macam-macam premi antara lain:
1. Premi meningkat (natural premium-increasing premium)
Pembayaran premi disini makin lama makin besar dikarenakan:
a. Umur pemegang polis makin lama bertambah naik(tua) berarti risiko meningkat pula.
b. Kemungkinan untuk meninggal dunia lebih cepat.
2. Premi merata (level premium)
Pada level premium besarnya premi yang dilunasi oleh pemegang polis untuk setiap tahunnya sama (merata) besarnya.
B. Syarat-Syarat Risiko Asuransi Jiwa
Pada asuransi jiwa ada beberapa syarat supaya risiko yang diasuransikan bisa terlaksana, yaitu:
1. Jumlah exposures (yang dipertanggungkan) harus besar dan Homogen (homogeneous).
2. Cost atau biaya-biaya guna menaggung risiko tidak boleh terlalu tinggi.
3. Pembayaran premi yang rendah, sehingga orang berpendapat bahwa ia lebih baik mengasuransikan daripada menyimpan uangnya di bank.
4. Kerugian-kerugian (loss) yang timbul tidak boleh mengandung unsur yang disengaja, karena ini bertentangan dengan law of indemnity (moral hazard).











BAB III
TINJAUAN PUSTAKA


A.SEJARAH ASURANSI
Asuransi berasal mula dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM.Yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi.Kemudian padatahun 1668 M di coffee house London berdirilah Llyod of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.Sumber hukum asuransi adalah hukum positif dan contoh yang ada sebelumnya sebagaimana kebudayaan.
Salah satunya cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada jaman kebudayaan Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari sang raja bermimpi yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada 7 tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik.
Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari risiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri.
Pada tahun 2000 sebelum masehi para saudagar dan aktor di Italia membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal.
Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan keranggotakan para budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan kerajaan Romawi.Setiap anggota mengumpulkan sejumlah iuran dan bila salah seorang anggota mengalami nasib sial (unfortunate) maka biaya pemakamannya akan dibayar oleh anggota yang bernasib baik (fortunate) dengan menggunakan dana yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Perkumpulan semacam ini merupakan salah satu konsep awal timbulnya asuransi, yaitu orang-orang yang beruntung atau bernasib baik membantu orang-orang yang tidak beruntung.

B. Pengertian Dan Pengaturan asuransi
Pengertian asuransi tidak bisa dipisahkan dari pengaturannya, karena di dalam pengaturannya terdapat pengertian dari asuransi.Seperti dalam Burgelijke Book (BW) atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan tercantum dalam pasal 1774 KUHPerdata pertanggungan/asuransi termasuk kategori perjanjian untung-untungan.Secara lengkap dalam pasal ini disebutkan bahwa:
“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun sementara pihak,bergantung kepada kejadian yang belum tentu.Demikianadalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan”.
Mengenai pengertian asuransi, terdapat dalam KUHD yaitu pada bab kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan. Pasal 246 berbunyi:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang tidak diharapkan yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
Mengenai pengertian asuransi juga diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian yang menyebutkan bahwa:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asurhatiga ek kipansi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk mamberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang tetanggung”.

Pengaturan asuransi lainya:
a. Undang-undang no 33 tahun 1964 tentang pertanggunngan wajib kecelakaan penumpang.
b. Undang-undang no. 34 tahun 1964 tentang tanggungan kecelakaan lalu lintas jalan.
c. Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN).

C. Risiko Dan Polis Asuransi
Risiko adalah beban kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa di luar kesalahannya.
Risiko dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian materil yang dapat dinilai dengan uang yang dialami nasabah sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa yang mungkin atau belum pasti akan terjadi (uncertainty of occurrence and uncertainty of loss).
Klasifikasi risiko yaitu:
1. Speculative riks yaitu risiko yang bersifat spekulatif yang mendatangkan rugi atau laba.
2. Pure riks yaitu resziko yang selalu menyebabkan kerugian.
Polis Asuransi adalah suatu akta tertulis yang memuat tentang perjanjian asuaransi antara penanggung dengan tertanggung. Di beberapa Negara digunakan polis sendiri yang pada dasarnya disalin dari polis Lioyd’s Aircraft dengan mengadakanperubahan seperlunya mengenai syarat-syarat jaminan untuk disesuaikan dengan kebutuhan negara yang bersangkutan.
Demikian di Indonesia, Dewan Asuransi Indonesia telah menyusun Polis Standar Aviasi (Indonesian Standard Aviation Policy) dengan berpedoman kepada Policy Lloyd’s Aircraft.













BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita simpulakan bahwa mengenai asuransi jiwa adalah sebagai berikut:
1. Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian financial tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama.
2. Syarat-Syarat Risiko Asuransi Jiwa
a. Jumlah exposures (yang dipertanggungkan) harus besar dan Homogen (homogeneous)
b. Cost atau biaya-biaya guna menaggung risiko tidak boleh terlalu Tinggi.
c. Pembayaran premi yang rendah, sehingga orang berpendapat bahwa ia lebih baik mengasuransikan daripada menyimpan uangnya di bank.
d. Kerugian-kerugian (loss) yang timbul tidak boleh mengandung unsur
Yang disengaja, karena ini bertentangan dengan law of indemnity
(moral hazard).
B. SARAN
Melalui pembahasan dalam makalah ini penulis menyampaikan beberapa saran,diantaranya:
1. Hendaknya dengan mengetahui asuransi jiwa masyarakat akan mempunyai minat tinggi terhadap asuransi jiwa.
2. Dengan adanya asuransi jiwa dapat mengangkat perekonomian di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Salim, Abbas,, 2003, Asuransi Dan Manajemen Resiko ,PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Anshori, Abdul Ghofur,.2008, Asuransi Syariah Di Indonesia, UII Press:Yogyakarta.
http://www google sejarah asuransi.com




Hukum Pidana Adat


1. Pengertian Hukum Pidana Adat
Istilah Hukum pidana adat sebenarnya merupakan istilah yang diambil dari terjemahan “adat delictenrecht” sebagai istilah yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Hukum adat tidaklah mengenal pembagian bidang hukum pidana, keperdataan, tata negara maupun administrasi. Istilah yang dipergunakan oleh Van Vollenhoven hanyalah pembagian untuk mempermudah analisis atas bidang hukum adat di Indonesia. Hukum pidana adat adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang pelanggaran adat sebagai: “suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau sekumpulan orang, mengancam atau menyingung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateniil, terhadap orang seseorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat”.
Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat adalah UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Kekuasaan kehakiman. Sifat hukum pidana adat, adalah : menyeluruh dan menyatu, ketentuan yang terbuka untuk segala peristiwa (tidak mengenal “prae extence regel”), membedakan permasalahan, peradilan atas permintaan serta pertanggungjawaban kolektif. Sumber hukum pidana adat, lebih banyak ditemukan dalam peraturan-peraturan tidak tertulis.
2. Delik adat
Di dalam hukum pidana adat, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai delik adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan. Perbuatan-perbuatan tersebut apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam :
1) delik terhadap harta benda;
2) delik terhadap kepentingan orang banyak;
3) delik terhadap kehormatan seseorang; dan
4) delik terhadap kesusilaan.
Berbeda dengan delik pada umumnya, unsur-unsur delik adat meliputi :
1) adanya perbuatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang ataupun pengurus;
2) bertentangan dengan norma adat;
3) perbuatan dipandang menimbulkan adanya ketidakseimbangan kosmis atau kegoncangan dalam masyarakat; dan
4) adanya reaksi berupa sanksi adat.
Di dalam masalah pertanggungjawaban, hukum pidana adat di samping mengenal pertanggungjawaban pribadi, juga mengenal pertanggungjawaban kolektif. Hukum pidana adat tidak mengenal alasan pembenar serta alasan pemaaf sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.

3. Reaksi Adat dalam Delik Adat
Pada hakikatnya, di dalam hukum adat tidak dikenal sanksi, tetapi upaya adat atau reaksi adat. Hal ini didasarkan atas suatu konsep pemikiran bahwa pelanggaran adat, merupakan suatu pelanggaran ketentuan hukum tidak tertulis yang berakibat adanya ketidakseimbangan “kosmis”, siapapun pelanggarnya mempunyai kewajiban untuk mengembalikan ketidakseimbangan yang terganggu seperti keadaan semula.
Berbagai jenis reaksi adat antara lain :
1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan gadis yang telah dicemarkan;
2) pembayaran uang adat;
3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;
4) penutup malu/permintaan maaf;
5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan
6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.
Filosofi yang mendasari penghukuman dalam hukum adat berbeda dengan pemidanaan menurut KUHP. Penghukuman dalam hukum adat lebih banyak dilandasi oleh falsafah harmoni, sedangkan dalam KUHP lebih berorientasi pada masalah retributif dan rehabilitatif. Di dalam organisasi kemasyarakatan adat dalam bentuk persekutuan hukum adat, melekat suatu wewenang untuk menjatuhkan sanksi adat.
Tujuan hukum pidana

adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakt dan negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang dilain pihak. Dengan demikian, yang dilindungi oleh hukum pidana bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat harta benda milik individu.

Dari rumusan tujuan tersebut, dapat dikelompokkan bahwa yang dilindungi oleh hukum pidana adalah :
1.Negara;
2.PenguasaNegara;
3.MasyarakatUmum;
4.individu;
5.HartaBendaIndividu;
6. Binatang ternak termasuk tanaman.
Dalam banyak literatur hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan hukum pidana adalah antara lain untuk:
1. Menakut-nakuti setiap orang jjangna sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik);
2. Mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungan.
Pandangan tersebut di atas dikemukakan oleh Teguh Parsetyo dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana. Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran Wirjono Prodjodikoro yang menyebutkan tujuan hukum pidana itu yaitu :
1. Untuk menakkut-nakuti orang jangan sampai melakukakn kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadiorang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Berbeda dengan dua sarjana di atas, Remelink menyatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakt saling bergantung; kepentingan mereka dan relasi sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung paksaan.

Sunday 5 July 2015

SOAL UPA HUKUM ACARA PERDATA

1. Dibawah ini adalah karaketristik dari suatu gugatan voluntair, kecuali:
a. diajukan secara sepihak
b. masalah yang diajukan adalah kepentingan 1 pihak saja
c. tidak ada sengketa
d. ada pihak penggugat dan ada pihak tergugat
Jawaban yang disarankan D

Wednesday 1 July 2015

PELANGGARAN HAK ANAK

HAK ASASI ANAK; DIBUAI NAMUN DISAKITI Oleh : Adek Putra Djambak (Pengabdi Bantuan Hukum pada Divisi Penangan Kasus LBH Padang).

Dalam satu tahun terakhir LBH Padang (Januari hingga Desember 2014) mencatat terjadi 51 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari 51 kasus tersebut 44 kasus korbannya adalah anak dan 7 kasus korbannya adalah perempuan dewasa. Umumnya dari 44 kasus kekerasan terhadap anak tersebut terhitung pencabulan (kekerasan seksual terhadap anak) sebanyak 42 kasus, dan kasus 2 kekerasan fisik terhadap anak, dari 51 kasus yang dicatat oleh LBH korbannya berjumlah 53 orang.  
Dari aspek pelaku, tercatat pelaku di tiga kasus kekerasan seksual pada anak tersebut adalah tenaga pendidik tiga (3), Keluarga terdekat empat (4), dan tiga puluh (30) lainnya adalah pelaku dari orang yang dikenal (orang luar dari internal keluarga), dan  (3) kasus pelakunya adalah pelajar serta 7 kasus adalah KDRT
Bila berkaca dari data tersebut sungguh memprihatinkan melihat pelanggaran hak anak yang terjadi di Sumatera Barat. Anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, lingkungan malah menjadi korban kekerasan baik fisik, psikis dan seksual. Disatu sisi, kondisi ini menjadi ancaman serius terhadap Anak dalam mendapatkan perlindungan dan menjadi kian rentan terlanggar hak-haknya.
Mengapa anak rentan menjadi korban pelanggaran?
Kondisi rentan anak
Anak-anak tersebut menjadi sasaran yang sangat rentan terhadap kekerasan disebabkan beberapa faktor yang sangat kompleks. Mulai dari segi sosial, budaya, pendidikan bahkan ekonomi sekalipun menjadi faktor penyebab secara bersamaan. Namun, sederhananya masalah utama dari hal tersebut pada intinya tidak luput dari peran orang tua dan lingkungan sosial tempat bermain anak yang tidak baik.
Hampir setiap kasus yang terpublis dimedia, pelakunya adalah orang-orang dekat korban seperti tetangga, dan orang-orang yang dikenal oleh anak/korban sendiri. Bahkan tidak sedikit pula pelakunya adalah orang memiliki dominasi atas korban seperti orang tua dan guru.
Sementara pola pengungkapan kasus kekerasan terhadap anak, nyaris dari seluruh kasus kekerasan seksual yang dialami anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi dimana korban anak pada saat bersamaan mengalami trauma dan dampak psikis yang mendalam dari kekerasan yang dialami. Apalagi kasus kekerasan seksual yang pelaku notabenenya adalah  orang yang berprofesi sebagai Guru/Pendidik dari korban itu sendiri. Dari modus ini, terlihat salah satu faktornya yang menyebabkan tingginya kekerasan seksual terhadap Anak adalah penguasaan atau dominasi pelaku yang menguasai korban baik dengan cara tipu daya maupun ancaman.
Kemudian, kekerasan yang dialami anak pun tidak lepas dari faktor rumah tangga yang selama ini memberikan pendidikan pertama bagi anak. Lain hal lagi bila kekerasan terjadi di lingkunga keluarga, tentulah penyebab utamanya berada pada bangunan keluarga tersebut.
Lingkungan dimana anak berada juga mempengaruhi terhadap kekerasan-kekerasan yang dialami oleh anak. Lingkungan yang tidak memberikan rasa aman bagi anak, menyebabkan anak menjadi korban kekerasan dilingkungan tempat tinggal dimana anak tersebut berada. Bahkan dilingkunangan sekolahpun anak menjadi korban kekerasan dari orang-orang yang seharusnya memberikan contoh sikap dan prilaku yang baik dan benar terhadap anak.
Sisi lainnya, terdapat pula beberapa pemahaman sempit orang tua yang beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Kekerasan fisik, tidak jarang malah menjadi fenomena pengajaran pada anak.
Kalau disandingkan dengan predikat ‘Kota Layak  Anak’ yang diraih beberapa kota di Sumatera Barat (termasuk kota Padang), hal ini tentu menjadi tamparan bagi kita. Sebab tidak paralel jika predikat Kota Layak Anak diraih, namun faktanya kasus-kasus kekerasan yang dialami anak, seperti kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual, terus terjadi dan bahkan tren pelanggaran-pelanggaran hak anak disumatera barat cenderung meningkat setiap tahunnya.
Artinya, indikator-indikator nir-kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap anak pastilah menjadi prasyarat didapatnya predikat Kota Layak Anak tersebut. Melihat fakta yang ada predikat itu menjadi pantas diragukan. Apakah hanya sekedar slogan propagandis untuk memmenuhi tuntutan semu saja.
Hak Anak dan Sanksi Adat
Dalam pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: Diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksualpenelantarankekejaman, kekerasan, dan penganiayaanketidakadilan dan perlakuan salah lainnya’
Ketentuan ini pada dasarnya akan memberikan jaminan hukum perlindungan pada anak apabila disikapi dengan praktik nyata seluruh elemen di dalam masyarakat. Belum terdengar baik di Kota Padang sendiri dibuat kesepahaman adat yang dibuat antar pemerintah dan unsur adat untuk menerapkan sanksi adat bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Padahal disatu sisi hal ini sudah sepantasnya dilakukan mengingat budaya masyarakat kita.
Mengingat kejahatan terhadap anak bukanlah kejahatn biasa, maka perlawan terhadap kejahatan ini perlu dilakukan secara luar biasa pula. Menyandingkan adat dengan hukum negara disisi bersamaan untuk melawan kejahatan terhadap anak bukan tidak patut dilakukan. Kalau perlu, pelaku kejahatan terhadap anak dibuang saja sepanjang adat. Agar hak asasi anak, tidak lagi sekedar dibuai namun tetap disakiti.



luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com