MASYARAKAT SADAR DAN BERBUDAYA HUKUM


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday 11 May 2016

PERAN DAN FUNGSI ADVOKAT



A. Peranan Advokat.
Menurut Soerjono Soekanto seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lainnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Setiap penegak hukum secara sosiologis mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role) sebagai penegak hukum. Kedudukan (status) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya mempunyai suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiaban tertentu. Hak- hak dan kewajiban tadi merupakan peranan atau “role”.

Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut :
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan “role perfonmance” atau “role playing”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peranan yang ideal dan seharusnya datang dari pihak atau pihak-pihak lain, sedangkan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri sendiri.

Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lain juga mempunyai kedudukan dan peranan. Sebagai seorang penegak hukum pusat perhatian sudah pasti diarahkan pada perananya, peranan yang seharusnya dan peranan aktual.
Peranan yang seharusnya dari kalangan tertentu seperti advokat telah dirumuskan dalam Undang-undang.demikian pula halnya dengan perumusan terhadap peranan yang ideal. berkaitan dengan peranan advokat Undang-undang advokat nomor 18 tahun 2003 tersebut memberikan pengertian advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum di dalam maupun di luar persidangan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.
Kata advokat, secara etimologis berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to defend, to call to one,s aid to vouch or warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris advokate berarti : to speak in favbour of or depend by argument, to support,indicate,or recommanded publicy. Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian advokat yang didefinisikan oleh para ahli hukum, organisasi, peraturan dan perundang-undangan yang pernah ada sejak masa kolonial hingga sekarang menurut RUU KUHAP pengertian advokat adalah orang yang memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasrkan ketentuan Undang-undang tentang Advokat.

Advokat dalam memberikan jasa hukumnya dalam praktek dapat dijumpai dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka sidang. Dalam semua tingkat tersebut advokat harus mempunyai surat kuasa yang diperoleh dari pemberi kuasa untuk mendampingi, mewakili, memberikan nasihat hukum kepada kliennya.
Surat kuasa merupakan sesuatu yang penting dalam menangani suatu kasus tindak pidana korupsi karena tanpa surat kuasa advokat tidak dapat untuk memberikan jasa hukum di pangadilan yang mana dalam tingakat pemeriksaan baik ditingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dimuka sidang surat kuasanya harus berbeda dari beberapa tingkat tersebut.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses penjabaran nilai, ide, dan cita untuk menjadi sebuah tujuan hukum yakni keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya haruslah diwujudkan menjadi realitas yang nyata. Eksistensi hukum menjadi nyata jika nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum dapat diimplementasikan dengan baik. Penegakan hukum pada prinsipnya harus memberikan manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat. Disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum dalam rangka mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat dipungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.

Pada dasarnya, penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik jikalau antara unsur masyarakat dan unsur penegak hukumnya saling berkesinambungan dalam menjunjung tinggi prinsip serta tujuan hukum. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dari unsur penegakan hukum advokat harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil menentukan sah tidaknya kuasa hukum sedangkan syarat materiil menggambarkan apa yang dilakukan kuasa hukum benar-benar kehendak dari kliennya. Apabila ada perbedaan antara pihak formil dan pihak materiil maka yang dimenangkan adalah pihak materiil yaitu klien, sebagai pihak yang berkepentingan. Dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Advokat menyatakan bahwa status advokat sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan. Namun status advokat selain bermakna sebagai penegak hukum, juga bemakna sebagai profesi. Oleh karenanya sering terjadi benturan kepentingan antara keduanya.

Apakah statusnya sebagai penegak hukum sama dengan penegak hukum lainnya, ataukah beda. Ketentuan pasal 5 UU Advokat tersebut memang telah merinci kedudukan dan wewenang advokat sebagai penegak hukum. Akan tetapi, timbul masalah apakah advokat/pengacara hanya harus membela kepentingan klien saja sehingga walaupun dia tahu bahwa kliennya salah, ia akan melakukan apa saja yang dibolehkan agar putusan hakim tidak akan merugikan klien, ataukah tugas advokat sama dengan tugas hakim atau penegak hukum lainnya yaitu untuk menegakkan hukum demi kepentingan umum dengan menyandang predikat penegak hukum. Sehingga konsekuensinya, advokat tidak boleh membela kepentingan klien secara membabi buta karena juga harus ikut menegakkan hukum.

Menurut sebagian ahli hasil dari lokakarya para advokat di Jakarta, alternatif yang kedualah yang sesuai dengan tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pasal 37 UU No. 14 tahun 1970 yang menetapkan bahwa dalam memberi bantuan hukum pengacara membantu melancarkan penyelesaian perkara. Yaitu membantu hakim dalam memutuskan perkara dengan data dan informasi yang ada padanya yang disampaikan dimuka pengadilan.

Sudikno Mertokesumo menyatakan, bahwa pengacara atau advokat kedudukannya subjektif karena ia ditunjuk oleh salah satu pihak untuk mewakilinya di persidangan dan penilainyapun sangat subyektif karena ia harus membela kepentingan kliennya. Akan tetapi perlu diingat bahwa fungsi pokok seorang pengacara adalah untuk membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi pancasila, hukum dan keadilan. Disamping itu juga sesuai dengan kode etik advokat bahwa advokat tidak harus mengutamakan kepentingan kliennya saja akan tetapi lebih pada mengutamakan tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran.

Masalah lain timbul jika diihat dari fakta empiris bahwasanya advokat atau pegacara dalam menangani perkara hanya memahami profesinya sebagai kuasa hukum dari klien dan mengesampingkan profesinya sebagai salah satu aparat penegak hukum. Sehingga ia akan mudah menerima dalam bentuk apapun suap dari klien bahkan sampai melakukan perjanjian dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim. Sehingga yang dikedepankan bukanlah prinsip kebenaran dan keadilan tapi kemenangan dalam suatu perkara. Dari sini muncul anggapan masyarakat bahwa hukum dapat dimanipulasi dan dibeli. Sehingga kepercayaan kepada aparat penegak hukum ini lebur dengan sendirinya.

Jika kita pandang dari kacamata sosiologi hukum, kita dapat mengasumsikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal yang berasal dari penegak hukum itu sendiri. Salah satu contoh, adanya kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum berpedoman pada Undang-Undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang menyelesaikan dengan caranya sendiri sepertihalnya penyuapan.

Maka dari itu seharusnya para aparat penegak hukum merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terejawantahkan dalam kode etik profesi hukum. Agar advokat atau pengacara dapat menjalankan tugas profesinya dengan baik, kiranya perlu memahami lalu mengamalkan apa yang menjadi sumpah janjinya advokat, yaitu: “Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji : Peran advokat dalam memberikan jasa hukum bagi kepentingan klien diartikan bahwa bagaimana advokat menjalankan profesinya sesuai dengan tugas dan fungsinya serta kode etik dan sumpah advokat.

Mengenai sumpah advokat dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan :
“Demi Allah saya bersumpah / saya berjanji” :
 Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia;
 Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu barang kepada siapapun juga;
 Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keasilan;
 Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;
 Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagi advokat;
 Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya saya merupakan bagian dari tanggung jawab profesi saya sebagai advokat.

Disamping pembaharuan dari sisi penegak hukum dalam hal ini advokat, juga perlu pembenahan dari unsur masyarakatnya. Masyarakat sebagai pelaksana hukum dan pencari keadilan tidak seharusnya membungkam para aparat penegak hukum demi kepentingannya, termasuk membungkam pengacara demi memenangkan perkara yang dihadapinya.

Menurut Amir Syamsudin, bahwa teks sumpah advokat pada point terakhir ini berbeda dengan teks sumpah yang selama ini telah ada sebagai berikut;” bahwa saya tidak akan membela atau memberi nasihat hukum dalam suatu perkara yang menurut keyakinan dan kepercayaan saya tidak mengandung dasar hukum untuk diajukan ke pengadilan”, bahwa teks ini sangat interpretatif dan tidak konkret. Dalam menjalankan profesinya Menurut Ropuan Rambe, seorang advokat harus memegang teguh sumpah advokat dalam menegakkan hukum keadilan, dan kebenaran. Advokat adalah profesai yang bebas; free profesion;vrijberoep, yang tidak tunduk pada hirarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan, dan hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang tunduk pada kode etik profesi advokat, dan tidak tunduk pada kekuasaan publik.

Selain mengenai sumpah advokat. Advokat juga harus mendalami keperanan advokat dengan kode etik tersebut, maka untuk mudah mendapat pegangan tentang yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh advokat, Kode etik Advokat memberikan lebih jelas kepada anggota-anggotanya tentang praktek dalam profesi yang harus dilakukan. Karena dalam kode etik advokat telah diberikan petunjuk kepada anggotanya tentang hal- hal sebagai berikut :
1. Soal tanggung jawab
2. Soal keharusan yang mereka perbuat.
3. Menjaga kelakuan / perilaku sebagai seorang yang profesional dalam menjalankan profesinya
4. Integritas harus dijaga dalam menjalankan profesinya
5. Menjaga reputasi.
Ini berarti yang menjadi sasaran atau obyek adalah agar kode etik ditaati dan dijalankan oleh para profesional dalam menjalankan profesinya, dan sekaligus pula menjadi tonggak tegaknya hukum dan keadilan

Dalam peranannya yang pertama, pembela mengambil posisi berhadapan dengan peradilan. Tujuannya tidak lain adalah untuk mempertahankan hak-hak kliennya. Dalam hubungan ini kedudukan pembela harus otonom dan tidak bergantung. Ia juga harus menjaga agar tidak terjatuh dalam suasana kompromi.

Peranan yang kedua advokat sebagai pemberi bantuan hukum, menurut Satjipto Rahardjo seorang pembela sedikit banyak harus melakukan “kerja sama” dengan pak Hakim dan pak Jaksa. Hal ini dilakukan adalah demi kelangsungan hubungan yang teratur antara pembela dengan para pejabat hukum, ia tidak dapat selalu mengambil sikap yang berlawanan terhadap mereka, dalam situasi demikian kedudukan pembela seolah-olah berubah menjadi pegawai pengadilan.
Maksud dari pendapat di atas seorang advokat harus menjalin kerja sama dengan Hakim maupun Jaksa dengan tujuan untuk demi kelangsungan hubungan yang teratur antara advokat dengan pejabat pemerintah yang tidak lain adalah untuk tegaknya kebenaran dan keadilan serta advokat harus menyadari bahwa kedudukanya berbeda dengan pegawai pemerintah karena advokat/pembela adalah pekerjaan yang memberikan jasa kepada orang lain yang secara materi didapatkan dari honorarium dari klien.

Peranan advokat dalam menjalankan kode etiknya tidak begitu mudah dan sederhana. Hal mana pernah digambarkan oleh P.M Trapman dengan keterangannya bahwa betapa sulitnya seorang advokat dalam proses pidana untuk memperpadukan antara keharusan memihak pada terdakwa sebagai digambarkan dalam kata Belanda noodzakelijke eezijdigheid dan di samping kewajiban advokat mengemukakan penilaian yang obyektif terhadap kejadian karena memanfaatkan diri dalam Ethische Legimitatie.
Kode etik adalah merupakan perangkat moral yang sesungguhnya mesti ada pada semua profesi termasuk di dalamnya profesi advokat. Obyek material dari etika adalah moralitas yang melekat pada suatu profesi. Oleh karena itu, pada tanggal 4 April 1996, berdasarkan kesepakatan antar tiga profesi hukum Indonesia, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) memutuskan untuk menciptakan dan memiliki suatu kode etik yang berlaku untuk semua penasihat hukum Indonesia tidak terkecuali penasihat hukum berkebangsaan asing yang berpraktek di Indonesia. Secara sistematis, kode etik yang telah disepakati oleh asosiasi atau organisasi profesi itu dibagi dalam ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut yaitu kode etik yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan kepribadian Penasihat Hukum pada umumnya.

Di sini memuat aturan yang mana sejalan dengan sumpah pengangkatan seorang penasihat hukum sebagaimana dijelaskan di dalam uraian berikut ini antara lain :
Setiap penasihat hukum adalah warga negara yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjalankan praktek profesinya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta sumpah jabatannya.
Penasihat hukum dilarang melakukan sikap-sikap diskriminasi, karena itu harus bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum kepada yang memerlukannya tanpa membedakannya suku, agama, kepercayaan, keturunan, kedudukan sosial atau keyakinana politiknya dan tidak semata mencari imbalan materi, tetapi harus mengutamakan penegakan hukum, keadilan dan kebenaran dengan cara jujur dan bertanggung jawab.

Penasihat hukum dalam menjalankan praktek profesinya harus bebas dan mandiri sertsa tidak dipengaruhi oleh siapa pun dan wajib memeperkuangkan setinggi-tingginya hak asasi manusia di dalam negara hukum Indonesia. Penasihat hukum wajib memegang teguh solidaritas sesama teman sejawat dan apabila teman sejawat diajukan sebagai tersangka dalam suatu perkara pidana, maka ia wajib dibela oleh teman sejawat lainnya secara Cuma-Cuma. Penasihat hukum tidfak dibenarkan melakukan pekerjaan yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat penasihat hukum dan dalam perilaku sehari-harinya senantiasa menjunjung tinggi profesi pensasehat hukum sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).
Penasihat hukum dalam melakukan praktek profesinya harus bersikap hati-hati dan menjaga sopan santun terhadap para pejabat penegak hukum,sesama teman sejawat dan masyarakat, namun berkewajiban mempertahankan hak dan martabat penasihat hukum di mana pun ia berada.
Kode etik ini dapat dijadikan rambu-rambu bagi advokat dalam menentukan suatu pelanggaran hukum secara obyektif. Rambu-rambu di sini adalah setiap madvokat harus jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya baik dengan klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama pada dirinya sendiri.
Praktek yang professional dalam menjalankan profesinya lazimnya berporos pada kemampuan dalam menjalankan pengetahuan formal yang dimilikinya kemudian dijalankan dengan pendekatan etis dalam menjalankan pekerjaannya yaitu kode erik. Arti professional itu sendiri merupakan profesi yang dilengkapi dengan ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan pelatihan yang mantap bagi seorang profesionla untuk meminta bantuan jasanya itu yakin dan percaya dan tertarik untuk minta bantuaanya

Sebelum berbicara mengenai pemberian jasa hukum, pengertian jasa menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia jasa adalah perbuatan yang baik / berjiwa dan bernilai bagi orang lain, negara dsb. Pemberian jasa hukum kepada setiap orang/ klien/korporasi berkaitan dengan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam beberapa tingkat yakni tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka siding pengadilan Secara yuridis ia juga didukung oleh ketentuan-ketentuan hukum dan nilai-nilai universal. Selain itu, secara sosiologis pemberian jasa hukum khususnya bagi masyarakat tidak mampu/miskin merupakan kebutuhan masyarakat dalam upaya mencari kebenaran, menegakkan keadilan, dan menjamin hak asasi manusia.dalam memberikan jasa hukumnya, advokat dapt melakukan secara prodeo maupun atas dasar honorarium/fee berdasarkan kesepakatan bersama dan tingkat kewajaran serta kondisi kliennya.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Pengertian jasa hukum tersebut berbeda dengan pengertian bantuan hukum menurut undang- undang advokat. Bantuan hukum mempunyai pengertian tersendiri yaitu jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma- cuma kepada klien yang tidak mampu.

Berkaitan dengan Jasa hukum seorang advokat dapat diberikan dalam litigasi dan juga non litigasi. Nonlitigasi ini dapat berupa konsultasi hukum memberikan memberikan advice hukum kepada klien berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi. Dalam proses litigasi peran advokat dapat mengajukan saksi dan saksi ahli yang meringankan terdakwa,eksepsi, pledoi, banding, kasasi maupun peninjauan kembali

Tugas dan fungsi advokat dalam sebuah pekerjaan atau profesi apa pun tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Karena keduanya merupakan sistem kerja yang saling mendukung. Dalam menjalankan tugasnya, seorang advokat harus berfungsi :
a. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
b. Memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam negara hukum Indonesia;
c. Melaksanakan kode etik advokat;
d. Memberikan nasehat hukum; (legal advice);
e. Memberikan konsultasi hukum (legal consultation);
f. Memberikan pendapat hukum (legal opinion);
g. Menyusun kontrak-kontrak (legal drfting);
h. Memberikan informasi hukum (legal information);
i. Membela kepentingan klien (litigation);
j. Mewakili klien di muka pengadilan ( legal representation);
k. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu (legal aid).
Mengenai pengertian klien ada beberapa pendapat yang dikemukakan yaitu :
Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia, Klien diartikan orang yang minta bantuan atau nasihat pada pengacara, konsultan dsb. Dalam Kamus hukum klien adalah pelanggan, orang atau lainnya yang memperoleh bantuan hukum dari seorang pengacara.
Pengertian Klien menurut Undang-undang advokat nomor 18 tahun 2003 adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari advokat
Berdasarkan definisi klien di atas dapat disimpulkan klien adalah orang/badan hukum yang membutuhkan jasa hukum dari advokat baik litigasi maupun non litigasi berupa pendampingan, mewakili ataupun memberikan advice hukum demi kepentingan orang/badan hukum hukum yang membutuhkan jasa advokat.
Dalam menjalankan perannya, advokat wajib menjalankan hubungan baik dengan para kliennya, karena menurut Martiman Prodjohamidjojo; “pekerjaan penasihat hukum adalah pekerjaan kepercayaan”. dimaksud hubungan baik itu sebagaimana dijelaskan di bawah ini :
1. Penasihat hukum di dalam mengurus perkara mendahulukan kepentingan klien daripada kepentingan pribadinya;
2. Penasihat hukum dalam perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai;
3. Penasihat hukum tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan kliennya mengenai perkara yang diurusnya;
4. Penasihat hukum dilarang keras menjamin klien terhadap perkaranya akan dimenangkan;
5. Penasihat hukum dilarang menetapkan syarat-syarat yang membatasi kebebasan klien untuk mempercayakan kepentingannya kepada penasihat hukum yang lain;
6. Penasihat hukum harus menentukan besarnya honor dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien;
7. Penasihat hukum dilarang membebani klien dengan biaya- biaya yang tidak perlu;
8. Penasihat hukum dapat menggunakan hak retensi terhadap klien asalkan tidak merugikan kepentingan klien yang dapat diperbaiki lagi.
9. Penasihat hukum harus selalu memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh klien secara kepercayaan dan wajib menjaga rahasia itu.
Pada dasarnya butir-butir di atas dapat diartikan mengenai hak- hak klien dimana harus dijaga hubungan baik itu tanpa menimbulkan suatu permasalahan yang bisa terjadi antara advokat dan klien. Dalam hal ini jangan sampai klien dirugikan oleh seorang advokat atau peran yang dimainkan oleh advokat harus sesuai dengan sumpah dan kode etik advokat serta menjunjung tinggi supremasi hukum.
Advokat dalam menjalankan profesinya tidak mematuhi kode etik advokat akan dapat diadukan ke dewan kehormatan dengan ancaman sanksi seperti peringatan biasa, keras dan dapat di copot ijin prakteknya sebagai advokat Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya penegakan supremasi hukum, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat. Baik secara yuridis maupun sosologis advokat memiliki peranan yang sangat besar dalam penegakan hukum. Peran advokat dalam penegakan hukum dirasa belum maksimal, hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor.
Peran dan tanggungjawab advokat dalam penegakan hukum dalam kenyataannya belum optimal, hal tersebut dikarenakan adanya benturan kepentingan antara advokat sebagai penegak hukum yang harus menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran dan advokat sebagai profesi hukum yaitu kuasa hukum yang bertindak sebagai kuasa atau wakil dari klien (pihak yang berperkara). Sehingga seharusnya advokat dalam membela klien harus bertindak sebagaimana kode etik advokat yang bertugas untuk menegakkan keadilan bagi kliennya dan semuanya. Serta membantu hakim dalam menemukan kebenaran sehingga tidak dibenarkan jika ia kukuh mempertahankan kesalahan klien, yang dicari adalah keadilan yang bersifat luas, bukan hanya kepentingan memenangkan perkara di Pengadilan.















PENUTUP.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum karena setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat. Baik secara yuridis maupun sosologis advokat memiliki peranan yang sangat besar dalam penegakan hukum.
Tugas, kewajiban, sikap dan tangungjawab seorang advokat sebagai penegak hukum semuanya tertuang dalam kode etik profesi advokat yang dijadikan landasan dalam melakukan aktivitasnya. Yang mendasar dari tugas dan tanggungjawab advokat yaitu berhubungan antara mewakili klien, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan Hak Asasi Manusia, serta membantu hakim dalam proses penegakan kebenaran dan keadilan.



































DAFTAR PUSTAKA

Arief T. Surowidjojo, Pembaharuan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 2004,
Amir Syamsudin, Menyambut Undang-undang Advokat,peran advokat dalam Pembangunan, Jakarta. 2002.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Lokakarya tentang Pengacara Pada Badan Peradilan Agama, Jakarta. 1977.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia ,Idealisme dan Keprihatinan, Sinar Harapan. Jakarta. 1995.
Ignatius Ridwan Widyadarma, Etika Profesi Hukum dan Keperanannya, Undip, Semarang. 2001.
Ismu Gunadi Widodo, Tanggungjawab Advokat Dalam Penegakan Hukum,
Ropuan Rambe, Tehnik Praktek Advokat, Grasindo. Jakarta. 2001.
Rahmat Rosyadi, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia. Bogor, 2002.
Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Solusi terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2001.
Martiman Prodjohamidjojo, Penasehat Hukum dan Bantuan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.1982.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002.
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum di Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologis), Genta Publishing, Yogyakarta. 2009.
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Jakarta. 1994.
Sarlito W, Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.2010.
Sudarsono, Kamus Hukum; Rineka Cipta, Jakarta. 2007.
W.J.S,Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.1983.
Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM



ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM


Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979



Pasal 1

Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh hukum kepada mereka, yaitu dengan melayani masyarakat dan melindungi semua orang dari tindakan yang tidak sah, sesuai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi sebagaimana diharuskan oleh profesi mereka.

Ulasan:

(a) Istilah "aparat penegak hukum" ("law-enforcement officials") mencakup pula semua petugas hukum, baik yang diangkat maupun yang dipilih, yang menjalankan wewenang kepolisian, terutama wewenang penangkapan atau penahanan.

(b) Di negara-negara yang wewenang kepolisiannya dilaksanakan oleh otoritas militer, baik yang berseragam ataupun yang tidak, atau oleh pasukan keamanan Negara, definisi aparat penegak hukum tersebut perlu dianggap mencakup pula petugas otoritas militer atau pasukan keamanan Negara.

(c) Yang dimaksud dengan melayani masyarakat antara lain dan terutama adalah pemberian pelayanan bantuan kepada para anggota masyarakat yang, karena keadaan darurat pribadi, ekonomi, sosial, atau lainnya, memerlukan bantuan dengan segera.

(d) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencakup bukan hanya semua tindakan kekerasan yang makan korban dan mencelakakan, tetapi juga segala jenis tindakan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini mencakup pula perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu mengadakan pertanggungjawaban pidana (criminal liability).


Pasal 2

Dalam melaksanakan kewajiban mereka, aparat penegak hukum menghormati dan melindungi martabat kemanusiaan serta memelihara dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) semua orang.

Ulasan:

(a) Yang dimaksud dengan HAM semua orang adalah HAM yang diidentifikasi dan dilindungi oleh hukum nasional maupun hukum internasional. Instrumen-instrumen hukum internasional yang relevan dalam hal ini antara lain adalah Deklarasi Universal tentang HAM (the Universal Declaration of Human Rights), Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights), Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Derajat (the Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (the United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), Perjanjian Internasional tentang Penindakan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Apartheid (the International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid), Perjanjian tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), Aturan Minimum Standar tentang Perlakuan Tahanan (the Standar Minimum Rules for the Treatment of Prisoners), dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (the Vienna Convention on Consular Relations).

(b) Ulasan-ulasan nasional mengenai ketentuan ini perlu menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum regional atau nasional yang manakah yang mengidentifikasi dan melindungi HAM.


Pasal 3

Aparat penegak hukum boleh mengunakan tindakan keras (force) hanya bilamana benar-benar diperlukan dan hanya sejauh yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban mereka.


Ulasan:

(a) Ketentuan ini menekankan bahwa penggunaan tindakan keras oleh aparat penegak hukum perlu bersifat perkecualian. Ketentuan tersebut memang menyiratkan bahwa aparat penegak hukum boleh diberi wewenang untuk menggunakan tindakan keras yang secara wajar diperlukan mengingat keadaan yang ada, demi mencegah terjadinya kejahatan, atau dalam melaksanakan atau membantu penangkapan yang sah terhadap pelanggar hukum atau tersangka pelanggar hukum; namun, tindakan keras yang digunakan tidak boleh lebih besar daripada yang diperlukan untuk melakukan hal itu.

(b) Hukum nasional pada lazimnya membatasi penggunaan tindakan keras oleh aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip proporsionalitas. Perlu dimengerti bahwa prinsip proporsionalitas dalam lingkup nasional perlu dihormati dalam menginterpretasikan ketentuan tersebut. Namun, ketentuan tersebut sama sekali tidak boleh ditafsirkan memberikan wewenang penggunaan tindakan keras yang tidak proporsional terhadap tujuan absah yang hendak dicapai.

(c) Penggunaan senjata api dianggap merupakan langkah yang ekstrim. Perlu dilakukan segala daya upaya untuk menutup kemungkinan bagi penggunaan senjata api, terutama terhadap anak-anak. Pada umumnya, senjata api tidak boleh dipergunakan kecuali bilamana si tersangka pelanggar hukum melakukan perlawanan dengan senjata atau melakukan sesuatu yang membahayakan nyawa orang lain dan bilamana tindakan yang lebih ringan dari penggunaan senjata api kurang memadai untuk mengekang atau menangkap si tersangka pelanggar hukum tersebut. Setiap kali senjata api digunakan, hal tersebut perlu dilaporkan dengan segera kepada pihak berwenang yang berkompeten.


Pasal 4

Hal-hal bersifat rahasia (konfidensial) yang diketahui oleh aparat penegak hukum dijaga kerahasiaannya, kecuali jika dengan sangat diharuskan lain demi pelaksanaan kewajibannya atau demi kebutuhan pengadilan.

Ulasan:

Karena sifat kewajiban-kewajiban mereka, aparat penegak hukum memperoleh informasi yang mungkin berhubungan dengan kehidupan pribadi seseorang atau yang berpotensi mencelakakan kepentingan, dan terutama reputasi, pihak lain. Perlu dilakukan kehati-hatian yang besar dalam mengamankan dan menggunakan informasi semacam itu, yang boleh diungkapkan hanya demi pelaksanaan kewajiban atau demi melayani kebutuhan pengadilan. Setiap pengungkapan informasi semacam itu untuk tujuan lain adalah hal yang sangat tidak semestinya.


Pasal 5

Aparat penegak hukum sama sekali tidak boleh melakukan, menganjurkan, atau membiarkan setiap bentuk penyiksaan ataupun setiap bentuk perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan derajat. Demikian pula, aparat penegak hukum sama sekali tidak boleh menggunakan perintah atasan atau keadaan luar biasa, misalnya keadaan perang atau ancaman perang, ancaman keamanan nasional, ketidakstabilan politik dalam negeri, atau keadaan darurat umum lainnya, sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan atau memberikan perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat.

Ulasan:

(a) Larangan tersebut diturunkan dari Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Derajat (the Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang telah diadopsi oleh Sidang Umum. Menurut deklarasi tersebut:

"[Tindakan semacam itu] adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan dan dikecam sebagai penyangkalan terhadap tujuan Piagam PBB maupun sebagai pelanggaran terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental sebagaimana yang diproklamirkan dalam Deklarasi Universal tentang HAM [dan instumen-instrumen hukum internasional lainnya tentang HAM]."

(b) Deklarasi tersebut mendefinisikan penyiksaan sebagai berikut:

"... penyiksaan ialah setiap tindakan yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik ataupun mental, yang amat sangat yang dengan sengaja dilakukan oleh, atau atas anjuran dari, seorang pejabat publik terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari dia atau dari pihak ketiga, untuk menghukum dia atas perbuatan yang telah dia lakukan atau yang diduga telah dia lakukan, atau untuk mengintimidasi dia atau orang-orang lain. Tidak termasuk dalam penyiksaan ialah rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, atau sebagai akibat yang inheren dari, atau sebagai hasil ikutan dari, sanksi yang sah dan yang besarnya sesuai dengan Aturan Minimum Standar tentang Perlakuan Tahanan."

(c) Istilah "perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan derajat" belum didefinisikan oleh Sidang Umum tetapi perlu ditafsirkan sebagai hal yang memberikan perlindungan seluas mungkin dari perlakuan semena-mena, baik fisik ataupun mental.


Pasal 6

Aparat penegak hukum menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang mereka tahan dan, terutama, bertindak dengan segera untuk menyediakan perhatian medis kapan saja diperlukan.


Ulasan:

(a) "Perhatian medis," yang mengacu pada pelayanan yang diberikan oleh petugas medis, termasuk dokter medis dan tenaga paramedis yang bersertifikat, disediakan bilamana diperlukan atau diminta.

(b) Walaupun petugas medis berkemungkinan diperbantukan pada operasi penegakan hukum (law-enforcement operation), aparat penegak hukum harus mempertimbangkan penilaian yang dibuat oleh petugas tersebut bilamana mereka merekomendasikan agar tahanan yang bersangkutan memperoleh perawatan yang semestinya dari, atau secara berkonsultasi dengan, petugas medis dari luar lingkungan operasi penegakan hukum yang bersangkutan.

(c) Dimengerti bahwa aparat penegak hukum juga menyediakan perhatian medis bagi korban pelanggaran hukum atau korban kecelakaan yang terjadi pada saat berlangsungnya pelanggaran hukum.


Pasal 7

Aparat penegak hukum tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Aparat penegak hukum secara bersungguh-sungguh menentang dan memerangi segala bentuk perbuatan korupsi.


Ulasan:

(a) Setiap bentuk perbuatan korupsi, sama seperti halnya setiap bentuk penyalahgunaan wewenang, adalah tidak sesuai dengan profesi aparat penegak hukum. Hukum harus ditegakkan sepenuhnya, pun terhadap setiap aparat penegak hukum yang melakukan perbuatan korupsi, karena Pemerintah tidak dapat berharap akan dapat menegakkan hukum di antara para warganya jika mereka tidak dapat, atau tidak mau, menegakkan hukum terhadap aparat mereka sendiri dan di lingkungan institusi-institusi mereka.

(b) Walaupun definisi tentang korupsi harus tunduk terhadap hukum nasional, perlu dimengerti bahwa definisi tersebut perlu mencakup baik melakukan ataupun membiarkan sebuah perbuatan, dalam rangka pelaksanaan kewajiban seseorang atau sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban seseorang, sebagai tanggapan atas hadiah, janji, atau insentif yang diminta atau yang disetujui ataupun menerima secara tidak benar hadiah, janji, atau insentif setelah perbuatan tersebut dilaksanakan ataupun dibiarkan.

(c) Istilah "perbuatan korupsi" sebagaimana dimaksud di atas perlu dimengerti sebagai mencakup pula upaya korupsi.


Pasal 8

Aparat penegak hukum menghormati hukum yang berlaku maupun Aturan Perilaku ini. Mereka juga berusaha sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan mereka untuk mencegah dan untuk secara bersungguh-sungguh menentang setiap pelanggaran terhadap hukum maupun Aturan Perilaku ini.

Aparat penegak hukum yang mempunyai alasan untuk meyakini bahwa telah terjadi ataupun akan terjadi sebuah pelanggaran terhadap Aturan Perilaku ini melaporkan hal tersebut kepada atasannya dan, di mana perlu, kepada pihak berwenang yang semestinya ataupun kepada organ-organ yang mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan atau tindakan perbaikan.


Ulasan:

(a) Aturan Perilaku ini dipatuhi bilamana telah diintegrasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional atau praktek nasional. Jika peraturan perundang-undangan atau praktek nasional berisi ketentuan-ketentuan yang lebih ketat daripada ketentuan-ketentuan yang ada pada Aturan Perilaku ini, ketentuan-ketentuan yang lebih ketat itulah yang dipatuhi.

(b) Pasal ini berupaya untuk memelihara keseimbangan antara kebutuhan lembaga pemegang peran penting dalam menjaga keamanan publik tersebut untuk memiliki disiplin interen di satu pihak dan kebutuhan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dasar di lain pihak. Aparat penegak hukum melaporkan pelanggaran-pelanggaran di dalam batas-batas rantai komandonya dan baru mengambil tindakan sah lain di luar rantai komandonya bilamana tak ada langkah perbaikan lain yang tersedia atau yang efektif. Dimengerti bahwa aparat penegak hukum tidak boleh menerima sanksi administratif atau sanksi lain karena telah melaporkan bahwa sebuah pelanggaran terhadap Aturan Perilaku ini telah terjadi atau akan terjadi.

(c) Istilah "pihak berwenang yang semestinya atau organ-organ yang mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan atau tindakan perbaikan" mengacu pada setiap pihak berwenang atau organ yang ada di bawah hukum nasional, baik yang merupakan bagian interen dari lembaga penegakan hukum ataupun yang terpisah dari lembaga penegakan hukum, yang memiliki wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan, berdasarkan kebiasaan, ataupun berdasarkan hal lain untuk melakukan peninjauan atas keluhan-keluhan dan pengaduan-pengaduan mengenai pelanggaran yang terjadi di dalam lingkup Aturan Perilaku ini.

(d) Di sejumlah negara, media massa mungkin dianggap menjalankan fungsi peninjauan pengaduan yang serupa dengan dengan fungsi yang diuraikan dalam poin (c) di atas. Karena itu, aparat penegak hukum bisa dibenarkan bilamana, sebagai langkah terakhir dan sesuai dengan hukum serta kebiasaan yang berlaku di negara yang bersangkutan maupun dengan ketentuan Pasal 4 Aturan Perilaku ini, mereka melaporkan pelanggaran-pelanggaran ke media massa untuk memperoleh opini publik.

(e) Aparat penegak hukum yang mematuhi ketentuan-ketentuan Aturan Perilaku ini layak memperoleh penghormatan, dukungan penuh, dan kerja sama dari masyarakat maupun dari lembaga penegakan hukum yang mereka layani serta dari profesi penegakan hukum.

Wednesday 4 May 2016

HUKUM KEPOLISIAN



Dinamika Peran Polisi dalam Masyarakat
Pendahuluan
Cara kerja Polri berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut selain mengikuti perubahan pandangan masyarakat akan keberadaan polisi ditengah – tengah masyarakat sebagai aparat penegak hukum, Polri juga menyadari dampak dari perkembangan tersebut semakin menuntut polisi yang profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini, masyarakat memandang profesional yang berlaku dalam Polri bukan hanya sebatas melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum. Harapan masyarakat adalah profesionalisme yang mampu mewujudkan rasa diayomi, dilindungi, dan dilayani oleh polisi dalam keberadaan dan fungsi polisi ditengah – tengah masyarakat.
Guna menjawab tuntutan serta memenuhi harapan dari masyarakat, Polri dipandang perlu mengambil langkah yang tepat dalam pelaksanaan tugasnya, mengingat fungsi utama polisi adalah alat negara yang didirikan dan dibangun guna mencegah terjadinya kejahatan serta memerangi kejahatan juga dapat mengatasi permasalahan – permasalahan maupun konflik yang timbul pada masyarakat. Sesuai UU No. 2 / 2002, dalam hal pemeliharaan keamanan dalam negri, khususnya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, kini menjadi tugas Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Permasalahan
Berkaitan dengan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai yang tertera pada Pasal 13 UU No. 2 / 2002 untuk itu Polri diberikan kewewenang – kewenangan yang diatur dalam UU No. 2 / 2002 dalam Pasal 15 (1), yakni :

a. menerima laporan / atau pengaduan
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat ijin dan / atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan sementara waktu.

Sedangkan mengenai kewenangan kepolisian sesuai dengan peraturan perudang – undangan lainnya ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2), yakni:
a) memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat Lainnya;
b) menyelenggarakan registerasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c) memberikan izin mengemudi kendaraan bermotor
d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f) meberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;
g) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h) melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j)
k) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam kepolisian internasional;
l) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Sedangkan dibidang proses pidana, kewenangan kepolisian diatur dalam pasal 16 ayat (1), yakni :
• melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
• melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
• membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
• menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
• melakukan penyitaan dan pemeriksaaan surat;
• memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
• mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
• mengadkan penghentian penyidikan;
• menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
• mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
• memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
• mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kewenangan – kewenangan tersebut diatas selain sangat membantu dan memang dibutuhkan oleh polisi dalam melaksanakan fungsi kepolisian, juga merupakan langkah antisipasi menghadapi eskalasi kejahatan yang senantiasa merayap naik menuntut polisi semakin analitis, responsif dan profesional. Walaupun demikian dengan melihat perkembangan situasi saat ini, dimana kondisi masyarakat semakin kritis terhadap kondisi hukum yang ada di Indonesia, bentuk upaya paksa terhadap seseorang maupun kelompok yang berkaitan dengan masalah maupun konflik, masih sering menghadapi kendala bahkan tidak sedikit justru menimbulkan masalah baru. Hal tersebut terbukti semakin lama, tingkat kriminalitas semakin bertambah dan makin bervariasi modus yang digunakan, bukannya menurun walau jumblah personil Polri bertambah banyak dan upaya yang sifatnya prefentif dan represif sering dilakukan.
Pembahasan
Dari kondisi permasalahan tersebut diatas diperoleh gambaran bahwa dalam hal ini polisi perlu memikirkan langkah yang lebih kongkrit selain upaya penegakkan hukum yang hanya mengetengahkan upaya paksa semata. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan beberapa pakar ilmu kepolisian terhadap tuntutan masyarakat akan peran Polri maupun bagaimana seharusnya Polri menyikapi situasi yang berkembang saat ini.
Menurut Rahardjo, (2000), sosok polisi yang ideal diseluruh dunia adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya. Dengan prinsip tersebut, masyarakat mengharapkan adanya perubahan dari polisi yang antagonis, (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya kedalam tugas – tugasnya) atau yang dapat dikatakan cocok dengan masyarakatnya. Harapan masyarakat kepada polisi adalah sosok polisi yang cocok atau sesuai dari masyarakatnya dan hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh polisi sendiri. Dapat dikatakan bahwa polisi adalah cerminan dari masyarakatnya, masyarakat yang bobrok jangan berharap mempunyai polisi yang baik (Rahardjo, 1999)
Dari fungsinya, polisi dalam pengertian yang mendasar dan umum, polisi hanyalah bagian dari administrasi pemerintahan, yang berfungsi untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan. Dengan kata lain : (1) Polisi menegakan hukum dan bersamaan dengan itu menegakan keadilan sesuai hukum yang berlaku, yaitu menegakan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh pemerintah), dan antar individu serta antar masyarakat; (2) Memerangi kejahatan yang menggangu dan merugikan masyarakat, warga msyarakat, dan negara; (3) Mengayomi warga masyarakat, masyarakat dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang menggangu dan merugikan. Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam perspektif bahwa individu, masyarakat, dan negara masing – masing merupakan sebuah sistem yang secara keseluruhan memproses masukan progaram – program pembangunan uuntuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Suparlan (1999).
Hasil berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan merupakan tujuan dari apa yang ada pada polisi saat melaksanakan tugas dan kewajibannya. Namun kondisi tersebut jelas tidak mungkin tercapai apabila hanya dilakukan upaya paksa pada individu maupun kelompok yang terlibat dalam permasalahan maupun konflik.
Konsep pemolisian pada dasarnya adalah gaya atau model yang melatar belakangi sebagian atau sejumlah aktivitas kepolisian dan lebih dari sekedar teknik atau taktik kepolisian, dilakukan takala menginterogasi tersangka, mengawal tamu penting, mengatur lalu lintas atau saat memberikan penyuluhan (Meliala, 1999).
Dalam uraiannya mengenai tuntutan profesionalisme dikalangan kepolisian, Prof. Harsja Bachtiar mengatakan bahwa polisi Indonesia harus mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi di Indonesia yang corak masyarakatnya amat kompleks sebagaimana dikatakannya (1994).
Mengacu pada permasalahan yang tengah dihadapi Polri tentang perlunya langkah yang lebih konkrit selain upaya paksa dalam penegakan hukum agar terciptanya keamanan dan ketertiban pada masyarakat dan mampu mewujudkan Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Ditambah adanya masukan pemikiran para pakar ilmu kepolisian seperti tersebut diatas, untuk itu dapat dianalisa bahwa Polri dalam memerankan fungsinya memerlukan seni dalam menghadapi serta mengatasi situasi konflik tanpa perlu melakukan pemaksaan sehingga mampu menimbulkan pemolisian yang baik dan profesional.
Seperti halnya yang diutarakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dalam seminar Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, bahwa dalam negara hukum yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, maka norma hukum yang harus berlaku adalah bahwa organisasi kepolisian akan tunduk pada hukum dan kekuasaan demokratis yang ada. Yang dimaksud dengan kekuasaan demokratis adalah kekuasaan yang dibatasi oleh pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat (kedaulatan rakyat). Meskipun kepolisian diberi wewenang mempergunakan kekerasan atas nama negara, namun janganlah diartikan bahwa kegiatan pemolisian (policing) adalah identik dengan penggunaan kekerasan. Kalau kita mau menerima pengertian bahwa kegiatan pemolisian adalah aspek atau tahap dalam proses pengendalian sosial, maka penggunaan kekerasan adalah ultima ratio (alat yang paling jarang dipergunakan dan terakhir). Dalam melakukan tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta menegakkan hukum (pasal 13 UU Kepolisian 2002), petugas kepolisian sebaiknya memperhatikan pendapat bahwa “ Pemolisian yang baik adalah suatu seni, bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa perlu pemaksaan.”
Seni yang dimaksud merupakan cara yang mampu mengantisipasi meningkatnya kriminalitas baik dengan upaya pencegahan maupun penindakan tanpa harus mengutamakan pemaksaan yang dikedepankan kecuali memang hanya penegakkan hukumlah yang memang pantas untuk diterapkan pada seseorang atau sekelompok masyarakat yang bermasalah. Contoh dari maksud tersebut ialah apabila adanya masyarakat atau sekelompok masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, seyogyanya sebagai polisi selain harus benar – benar mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya, agar dapat menentukan langkah yang tepat dalam pemberian sangsi pada masyarakat tersebut. Sangsi yang diberikanpun tidak harus berupa penerapan pidana atau hukum positif. Namun dalam hal ini sangsi yang diberikan adalah sangsi yang mampu memberikan pengertian dan pemahaman bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dalam negara Indonesia.
Diharapkan pemberian sangsi secara persuasif tersebut selain mampu menyadarkan orang tersebut atau masyarakat yang melakukan kesalahan, diharapkan mereka juga bisa ikut memberikan pengertian dan pemahaman yang sama pada masyarakat lainnya. Kecuali hal tersebut tidak mempan atau terhadap kasus – kasus tertentu yang tidak dapat dilakukan sangsi secara persuasif, seperti pada kasus pembunuhan atau residifis jelas hukum positiflah yang pantas untuk diterapkan pada pelaku tersebut.
Sebab dari langkah tersebut untuk dilakukan adalah menimbang bila segala sesuatu kesalahan maupun konflik yang ditemui harus selalu diterapkannya hukum positif dalam penanganannya, hal itu belum tentu efektif guna menyadarkan seseorang maupun sekelompok masyarakat akan apa yang mereka perbuat. Karena tidak sedikit kesalahan yang terjadi memang mereka tak menyadari sepenuhnya bila hal tersebut dilakukan merupakan pelanggaran akan hukum yang ada. Begitu mereka menjalani sangsi hukum yang dikenakan pada mereka justru menimbulkan dendam dan niat melawan hukum. Situasi ini jelas bukanya menurunkan angka kriminalitas maupun menimbulkan keamanan dan ketertiban ditengah – tengah masyrakat justru akan menjadi pemicu munculnya kejahatan – kejahatan lainnya dengan modus – modus baru yang secara tidak langsung membuat pekerjaan baru bagi Polri dalam menghadapi serta mengatasi situasi tersebut.
Jelas sekali terlihat apabila segala seuatu kesalahan yang ditemui atau dilaporkan langsung diterapkanya hukum positif, kondisi polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat yang diharapkan tidak akan pernah terwujud dengan sempurna, seperti apa yang menjadi harapan seluruh masyarakat maupun Polri sendiri.
Kesimpulan
Penanganan masalah keamanan dan ketertiban dimasyarakat tidak bisa disamaratakan antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masing – masing daerah mempunyai situasi, kondisi dan karakteristik yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban tidak bisa diseragamkan antara satu daera dengan daerah lain. Dengan demikian diperlukan seni atau gaya dalam melaksanakan fungsi kepolisian yang mampu atau dapat diterapkan dengan tepat.
Dari seni yang diperlukan sebagai model yang melatarbelakangi tindakan atau aktifitas kepolisian dalam mengatasi berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban dan pencegahan terjadinya tindak kejahatan diperlukan juga pemahaman tentang masyarakat dengan berbagai masalah dan sistem sosial yang ada didalamnya serta aspek intern kepolisian sendiri yang mencakup sistem manajemen, kebijaksanaan – kebijaksanaan yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman oleh para petugas kepolisian dalam melaksanakan tindakan operasionalnya.
Saran
Agar dapat terlaksananya upaya penindakan yang sifatnya persuasif, diperlukan adanya pendidikan formal yang mencukupi untuk seorang anggota Polri dengan menekan kan keimanan dan ketakwaan dalam menjalani tugas yang diemban olehnya.
Dalam hal ini selain upaya penindakan secara persuasif, dinegara – negara yang demokratis sekarang ini lebih mengedepankan penerapan community policing (pemolisian komuniti) sebagai alternatif gaya pemolisian yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat. Dalam hal tersebut polisi sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang bersama – sama dengan masyarakat dilingkunganya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban dilingkungannya.
Namun rasanya akan lebih baik bila seni atau gaya pemolisian tersebut digabung menjadi satu langkah yaitu community policing yang didalamnya mengandung penerapan atau penindakan secara persuasif.





Penutup
Peranan polisi dalam turut menegakan hukum dan melindungi masyarakat dan berbagai gangguan rasa tidak aman dan kejahatan adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Baik melindungi warga masyarakat maupun melindungi berbagai lembaga dan pranata sosial, kebudayaan ekonomi yang produktif. Peranan ini hanya mungkin dapat dilaksanakan bila fungsi polisi tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara profesional. Dalam jaman reformasi yang kita jalani sekarang ini, yang penuh dengan berbagai gejolak masyarakat , peran polisi menjadi sangat penting dalam turut menciptakan rasa aman dalam kehidupan masyarakat dan dalam meredam berbagai gejolak tersebut. Dengan demikian apa yang menjadi bahasan dalam permasalahan bagaimana wujud pemolisian yang baik diharapkan dapat memberikan input yang berarti bagi Polri dan masyarakat.


Daftar Pustaka
Reksodiputro, Mardjono. Prof., SH., MA, 2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembanganya Di Indonesia, Seminar Ilmu Kepolisian dan Prefesionalisme Polri.
Tunggul Alam, Wawan. SH. 2004, Memahami Profesi Hukum, Milenia Populer, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. Prof., PhD, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta.
Kunarto, Drs., 1995, Merenungi Kritik Terhadap Polri, PT. Cipta Manunggal, Jakarta.
Djamin, Awaludin. Prof., DR., MPA. 2001, Agenda Reformasi Polri Pasca Sidang Istimewa MPR 2001, PTIK Press, Jakarta.

HUKUM ASURANSI


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pada saat sekarang ini setiap orang tidak dapat terhindar dari apa yang disebut risiko, baik itu menyangkut harta kekayaan maupun risiko kehilangan jiwa.
Untuk itu asuransi jiwa sangat diperlukan,asuransi jiwa yang dipertanggungkan adalah yang disebabkan oleh kematian.Kematian tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan sesorang atas suatu keluaga tertentu.
Risiko yang mungkin timbul pada asuransi jiwa terutama terlatak pada unsur waktu, oleh karena sulit untuk mengetahui kapan seseorang meninggal dunia. Untuk memperkecil risiko tersebut, maka sebaiknya diadakan pertanggungan jiwa.

B.PERUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari asuransi jiwa?
2. Jelaskan syarat-syarat risiko asuransi jiwa?

C. TUJUAN
1.Untuk mengetahui tentang masalah asuransi jiwa .
2. Untuk melengkapi tugas makalah hukum asuransi,
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian financial tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama.
Dalam asuransi jiwa risiko yang dihadapi adalah
1 Risiko kematian,
2. Hidup seseorang terlalu lama.
Fungsi asuransi jiwa :
1. Tujuan pertanggungan jiwa adalah mengadakan jaminan bagi masyarakat, yaitu mengambil alih semua beban risiko dari tiap-tiap individu. Bilamana ditanggung sendiri akan terlalu berat, maka lebuh baik dipindahkan kepada perusahaan asuransi jiwa.
2. Perusahaan asuransi mempunyai tugas lain bila dilihat dari sudut pembangunan (economic development), yaitu sebagai lembaga yang mengumpulkan dana dan dana tersebut dapat diinvestasikan dalam lapangan pembangunan ekonomi seperti: industri-industri, perkebunan, dan lain-lain.
3. Dari sudut employment (pekerjaan), perusahaan asuransi memberi bantun kepada public,yaitu memberi kesempatan bekerja pada buruh-buruh atau pegawai-pegawai untuk memperoleh income guna kelangsungan hidup mereka sehari-hari.

Tujuan asuransi:
1. Dari segi masyarakat umumnya (social)
Asuransi jiwa bisa memberikan keuntunga-keuntungan tertentu terhadap individu atau masyarakat yaitu:
a. Menentramkan kepala keluarga (suami atau bapak) dalam arti memberi jaminan penghasilan, pendidikan, apabila kepala keluarga tersebut meninggal dunia.
b. Dengan membeli polis asuransi jiwa dapat digunakan sebagai alat untuk menabung (saving).
c. Sebagai sumber penghasilan (earning power).
d. Tujuan lain asuransi jiwa ialah untuk menjamin pengobatan dan menjamin kepada keturunan andaikata yang mengasuransikan tidak mammpu untuk mendidik anak-anaknya.
2. Dari segi pemerintah atau publik
Perusahaan asuransi jiwa di Negara kita yang besar operasinya
umumnya kepunyaan pemerintah.Disini kita hubungkan dengan peraturan pemerintah no. 19 tahun 1960 mengenai pembagian kegiatan antara perusahaan-perusahaan Negara.
Berdasarkan undang-undang no. 19 tahun1960 ternyata bahwa sumbangan lembaga asuransi terhadap pembangunan ekonomi ialah:
1. Sebagai alat pembentukan modal (capital formation).
2. Lembaga penabungan (saving).

Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan perusahaan asuransi ialah untuk turut membangun ekonomi nasional di bidang peransuaransian jiwa sesuai dengan Repelita dengan mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketentramam serta kesenagan bekerja dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur, materil dan spiritual.

Sifta-sifat kontrak asuransi jiwa:
1. Al policies are valued policies
Pada asuransi jiwa jumlah nilai polis sudah ditentukan jumlah maksimum dari pertangungan. Kontrak asuransi tidak Indemnity, artinya kita bisa memperoleh keuntungan dari pertanggungan tersebut.
2. Kadang-kadang jangka waktu asuransi digunakan untuk seumur
hidup, pembayara premi sama besarnya walaupun risiko bertambah lama bertambah besar.
3. Dengan membayar premi secara level premium (merata), kerugia-kerugian pada waktu membayar dikompensir untuk masa yang akan datang.
4. Asuransi jiwa mengandung unsur investasi.
5. Pembuktian claim mudah karena:
a. Kontrak bisa dibuktikan benar-benar berlaku.
b. Tertanggung benar-benar meninggal dunia.
c. Apakah ahli waris benar-benar ia berhak menerimmanya.
6. Kontrak adalah “uncontestable contract” artinya bila seorang
berbohong dan ini tidak diketahui oleh perusahaan maka perjanjian tidak bisa dibatalkan.
7. Perusahaan asuransi akan membayar sejumlah uang tertentu pada.
ahli warisnya.

Cara Pembayaran Premi
Premi yang dibayar oleh pembeli asuransi tergantung kepada sifat kontrak yang telah dibuat antara perusahaan asuransi dengan tertanggung.
Macam-macam premi antara lain:
1. Premi meningkat (natural premium-increasing premium)
Pembayaran premi disini makin lama makin besar dikarenakan:
a. Umur pemegang polis makin lama bertambah naik(tua) berarti risiko meningkat pula.
b. Kemungkinan untuk meninggal dunia lebih cepat.
2. Premi merata (level premium)
Pada level premium besarnya premi yang dilunasi oleh pemegang polis untuk setiap tahunnya sama (merata) besarnya.
B. Syarat-Syarat Risiko Asuransi Jiwa
Pada asuransi jiwa ada beberapa syarat supaya risiko yang diasuransikan bisa terlaksana, yaitu:
1. Jumlah exposures (yang dipertanggungkan) harus besar dan Homogen (homogeneous).
2. Cost atau biaya-biaya guna menaggung risiko tidak boleh terlalu tinggi.
3. Pembayaran premi yang rendah, sehingga orang berpendapat bahwa ia lebih baik mengasuransikan daripada menyimpan uangnya di bank.
4. Kerugian-kerugian (loss) yang timbul tidak boleh mengandung unsur yang disengaja, karena ini bertentangan dengan law of indemnity (moral hazard).











BAB III
TINJAUAN PUSTAKA


A.SEJARAH ASURANSI
Asuransi berasal mula dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM.Yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi.Kemudian padatahun 1668 M di coffee house London berdirilah Llyod of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.Sumber hukum asuransi adalah hukum positif dan contoh yang ada sebelumnya sebagaimana kebudayaan.
Salah satunya cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada jaman kebudayaan Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari sang raja bermimpi yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada 7 tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik.
Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari risiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri.
Pada tahun 2000 sebelum masehi para saudagar dan aktor di Italia membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal.
Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan keranggotakan para budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan kerajaan Romawi.Setiap anggota mengumpulkan sejumlah iuran dan bila salah seorang anggota mengalami nasib sial (unfortunate) maka biaya pemakamannya akan dibayar oleh anggota yang bernasib baik (fortunate) dengan menggunakan dana yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Perkumpulan semacam ini merupakan salah satu konsep awal timbulnya asuransi, yaitu orang-orang yang beruntung atau bernasib baik membantu orang-orang yang tidak beruntung.

B. Pengertian Dan Pengaturan asuransi
Pengertian asuransi tidak bisa dipisahkan dari pengaturannya, karena di dalam pengaturannya terdapat pengertian dari asuransi.Seperti dalam Burgelijke Book (BW) atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan tercantum dalam pasal 1774 KUHPerdata pertanggungan/asuransi termasuk kategori perjanjian untung-untungan.Secara lengkap dalam pasal ini disebutkan bahwa:
“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun sementara pihak,bergantung kepada kejadian yang belum tentu.Demikianadalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan”.
Mengenai pengertian asuransi, terdapat dalam KUHD yaitu pada bab kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan. Pasal 246 berbunyi:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang tidak diharapkan yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
Mengenai pengertian asuransi juga diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian yang menyebutkan bahwa:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asurhatiga ek kipansi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk mamberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang tetanggung”.

Pengaturan asuransi lainya:
a. Undang-undang no 33 tahun 1964 tentang pertanggunngan wajib kecelakaan penumpang.
b. Undang-undang no. 34 tahun 1964 tentang tanggungan kecelakaan lalu lintas jalan.
c. Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN).

C. Risiko Dan Polis Asuransi
Risiko adalah beban kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa di luar kesalahannya.
Risiko dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian materil yang dapat dinilai dengan uang yang dialami nasabah sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa yang mungkin atau belum pasti akan terjadi (uncertainty of occurrence and uncertainty of loss).
Klasifikasi risiko yaitu:
1. Speculative riks yaitu risiko yang bersifat spekulatif yang mendatangkan rugi atau laba.
2. Pure riks yaitu resziko yang selalu menyebabkan kerugian.
Polis Asuransi adalah suatu akta tertulis yang memuat tentang perjanjian asuaransi antara penanggung dengan tertanggung. Di beberapa Negara digunakan polis sendiri yang pada dasarnya disalin dari polis Lioyd’s Aircraft dengan mengadakanperubahan seperlunya mengenai syarat-syarat jaminan untuk disesuaikan dengan kebutuhan negara yang bersangkutan.
Demikian di Indonesia, Dewan Asuransi Indonesia telah menyusun Polis Standar Aviasi (Indonesian Standard Aviation Policy) dengan berpedoman kepada Policy Lloyd’s Aircraft.













BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita simpulakan bahwa mengenai asuransi jiwa adalah sebagai berikut:
1. Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian financial tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama.
2. Syarat-Syarat Risiko Asuransi Jiwa
a. Jumlah exposures (yang dipertanggungkan) harus besar dan Homogen (homogeneous)
b. Cost atau biaya-biaya guna menaggung risiko tidak boleh terlalu Tinggi.
c. Pembayaran premi yang rendah, sehingga orang berpendapat bahwa ia lebih baik mengasuransikan daripada menyimpan uangnya di bank.
d. Kerugian-kerugian (loss) yang timbul tidak boleh mengandung unsur
Yang disengaja, karena ini bertentangan dengan law of indemnity
(moral hazard).
B. SARAN
Melalui pembahasan dalam makalah ini penulis menyampaikan beberapa saran,diantaranya:
1. Hendaknya dengan mengetahui asuransi jiwa masyarakat akan mempunyai minat tinggi terhadap asuransi jiwa.
2. Dengan adanya asuransi jiwa dapat mengangkat perekonomian di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Salim, Abbas,, 2003, Asuransi Dan Manajemen Resiko ,PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Anshori, Abdul Ghofur,.2008, Asuransi Syariah Di Indonesia, UII Press:Yogyakarta.
http://www google sejarah asuransi.com




Hukum Pidana Adat


1. Pengertian Hukum Pidana Adat
Istilah Hukum pidana adat sebenarnya merupakan istilah yang diambil dari terjemahan “adat delictenrecht” sebagai istilah yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Hukum adat tidaklah mengenal pembagian bidang hukum pidana, keperdataan, tata negara maupun administrasi. Istilah yang dipergunakan oleh Van Vollenhoven hanyalah pembagian untuk mempermudah analisis atas bidang hukum adat di Indonesia. Hukum pidana adat adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang pelanggaran adat sebagai: “suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau sekumpulan orang, mengancam atau menyingung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateniil, terhadap orang seseorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat”.
Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat adalah UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Kekuasaan kehakiman. Sifat hukum pidana adat, adalah : menyeluruh dan menyatu, ketentuan yang terbuka untuk segala peristiwa (tidak mengenal “prae extence regel”), membedakan permasalahan, peradilan atas permintaan serta pertanggungjawaban kolektif. Sumber hukum pidana adat, lebih banyak ditemukan dalam peraturan-peraturan tidak tertulis.
2. Delik adat
Di dalam hukum pidana adat, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai delik adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan. Perbuatan-perbuatan tersebut apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam :
1) delik terhadap harta benda;
2) delik terhadap kepentingan orang banyak;
3) delik terhadap kehormatan seseorang; dan
4) delik terhadap kesusilaan.
Berbeda dengan delik pada umumnya, unsur-unsur delik adat meliputi :
1) adanya perbuatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang ataupun pengurus;
2) bertentangan dengan norma adat;
3) perbuatan dipandang menimbulkan adanya ketidakseimbangan kosmis atau kegoncangan dalam masyarakat; dan
4) adanya reaksi berupa sanksi adat.
Di dalam masalah pertanggungjawaban, hukum pidana adat di samping mengenal pertanggungjawaban pribadi, juga mengenal pertanggungjawaban kolektif. Hukum pidana adat tidak mengenal alasan pembenar serta alasan pemaaf sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.

3. Reaksi Adat dalam Delik Adat
Pada hakikatnya, di dalam hukum adat tidak dikenal sanksi, tetapi upaya adat atau reaksi adat. Hal ini didasarkan atas suatu konsep pemikiran bahwa pelanggaran adat, merupakan suatu pelanggaran ketentuan hukum tidak tertulis yang berakibat adanya ketidakseimbangan “kosmis”, siapapun pelanggarnya mempunyai kewajiban untuk mengembalikan ketidakseimbangan yang terganggu seperti keadaan semula.
Berbagai jenis reaksi adat antara lain :
1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan gadis yang telah dicemarkan;
2) pembayaran uang adat;
3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;
4) penutup malu/permintaan maaf;
5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan
6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.
Filosofi yang mendasari penghukuman dalam hukum adat berbeda dengan pemidanaan menurut KUHP. Penghukuman dalam hukum adat lebih banyak dilandasi oleh falsafah harmoni, sedangkan dalam KUHP lebih berorientasi pada masalah retributif dan rehabilitatif. Di dalam organisasi kemasyarakatan adat dalam bentuk persekutuan hukum adat, melekat suatu wewenang untuk menjatuhkan sanksi adat.
Tujuan hukum pidana

adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakt dan negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang dilain pihak. Dengan demikian, yang dilindungi oleh hukum pidana bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat harta benda milik individu.

Dari rumusan tujuan tersebut, dapat dikelompokkan bahwa yang dilindungi oleh hukum pidana adalah :
1.Negara;
2.PenguasaNegara;
3.MasyarakatUmum;
4.individu;
5.HartaBendaIndividu;
6. Binatang ternak termasuk tanaman.
Dalam banyak literatur hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan hukum pidana adalah antara lain untuk:
1. Menakut-nakuti setiap orang jjangna sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik);
2. Mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungan.
Pandangan tersebut di atas dikemukakan oleh Teguh Parsetyo dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana. Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran Wirjono Prodjodikoro yang menyebutkan tujuan hukum pidana itu yaitu :
1. Untuk menakkut-nakuti orang jangan sampai melakukakn kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi.
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadiorang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Berbeda dengan dua sarjana di atas, Remelink menyatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakt saling bergantung; kepentingan mereka dan relasi sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung paksaan.

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com